BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah
proses dari seorang ahli medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda
klinis penyakit. Hasil pemeriksaan akan dicatat dalam rekam medis. Rekam medis
dan pemeriksaan fisik akan membantu dalam penegakkan diagnosis dan perencanaan
perawatan pasien. Biasanya, pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis,
mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak. Setelah pemeriksaan
organ utama diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi,
beberapa tes khusus mungkin diperlukan seperti test neurologi.
Dengan petunjuk yang didapat selama pemeriksaan riwayat dan
fisik, ahli medis dapat menyususn sebuah diagnosis diferensial,yakni sebuah
daftar penyebab yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Beberapa tes akan
dilakukan untuk meyakinkan penyebab tersebut. Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan
terdiri diri penilaian kondisi pasien secara umum dan sistem organ yang
spesifik. Dalam prakteknya, tanda vital atau pemeriksaan suhu, denyut dan
tekanan darah selalu dilakukan pertama kali.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apakah itu pemeriksaan fisik
?
2. Apakah tujuan dari pemeriksaan fisik ?
3. Bagaimana metode dan langkah pemeriksaan fisik ?
4. Seperti apa pemeriksaan tanda vital ?
5.
Bagaimana pemeriksaan
fisik head to toe ?
6. Bagaimana pemeriksaan fisik per sistem ?
7.
Bagaimana proses keperawatan : tahapan dalam proses keperawatan
(pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, tujuan keperawatan, rencana
keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan) ?
1.3 Tujuan
Makalah
ini di buat dengan tujuan agar
mahasiswa, tenaga medis khususnya kami dapat memahami dan mengaplikasikannya di
dalam asuhan keperawatan mengenai prosedur pemeriksaan fisik.
1.4 Manfaat
Makalah
ini di buat oleh kami agar meminimalisir kesalahan dalam tindakan praktik
keperawatan yang di sebabkan oleh ketidakpahaman dalam prosedur pemeriksaan
fisik dalam keperawatan sehingga berpengaruh besar terhadap kesehatan klien.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pemeriksaan
Fisik.
Pemeriksaan
fisik berasal dari kata “Physical Examination” yang artinya memeriksa tubuh.
Jadi pemeriksaan fisik adalah memeriksa tubuh dengan atau tanpa alat untuk
tujuan mendapatkan informasi atau data yang menggambarkan kondisi klien yang
sesungguhnya.
Pemeriksaan
fisik adalah pemeriksaan tubuh pasien secara keseluruhan atau hanya beberapa
bagian saja yang perlu oleh tim medis yang bersangkutan.
Pemeriksan
fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari
suatu sistim atau suatu organ tubuh dengan cara melihat (inspeksi), meraba
(palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi). (Raylene M
Rospond,2009; Terj D. Lyrawati,2009).
Pemeriksaan
fisik adalah metode pengumpulan data yang sistematik dengan memakai indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa untuk mendeteksi masalah
kesehatan klien.Untuk pemeriksaan fisik perawat menggunakan
teknik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Craven & Hirnle, 2000;
Potter & Perry, 1997; Kozier et al., 1995).
Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan
tubuh klien secara keseluruhan atau hanya bagian tertentu yang dianggap perlu,
untuk memperoleh data yang sistematif dan komprehensif, memastikan/membuktikan
hasil anamnesa, menentukan masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang
tepat bagi klien. ( Dewi Sartika, 2010)
Pemeriksaan
fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
keperawatan klien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Fokus pengkajian fisik keperawatan adalah pada kemampuan fungsional
klien. Misalnya ketika klien mengalami gangguan sistem muskuloskeletal, maka
perawat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi klien dalam melaksanakan
kegiatan sehari-hari atau tidak.
2.2 Tujuan pemeriksaan fisik.
Tujuan dari pemeriksaan fisik yaitu :
- Mengkaji secara umum dari status umum keadaan klien.
- Mengkaji fungsi fisiologi dan patologis atau gangguan.
- Mengenal secara dini adanya masalah keperawatan klien baik aktual
maupun resiko.
- Merencanakan cara mengatasi permasalahan yang ada,serta menghindari
masalah yang mungkin terjadi.
Dalam literature lain dibahas bahwa
tujuan dari pemeriksaan fisik adalah :
- Memperoleh data dasar tentang kemampuan fungsional klien atau
keadaan tubuh pasien.
- Memperoleh data untuk merumuskan diagnosis keperawatan dan rencana
keperawatan.
- Mengevaluasi hasil kesehatan fisik dan kemajuan masalah klien.
2.3 Metode dan teknik pemeriksaan fisik.
1.
Inspeksi.
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung
seluruh tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Metode ini
berupaya melihat kondisi klien dengan menggunakan ‘sense of sign’ baik melalui
mata telanjang atau alat bantu penerangan (lampu). Inspeksi adalah kegiatan
aktif, proses ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya dan dimana
lokasinya. Metode inspeksi ini digunakan untuk mengkaji warna kulit, bentuk,
posisi, ukuran dan lainnya dari tubuh pasien.
Pemeriksa menggunakan indera penglihatan berkonsentrasi
untuk melihat pasien secara seksama, persistem dan tidak terburu-buru sejak
pertama bertemu dengan cara memperoleh riwayat pasien dan terutama sepanjang
pemeriksaan fisik dilakukan. Inspeksi juga menggunakan indera pendengaran dan
penciuman untuk mengetahui lebih lanjut, lebih jelas dan lebih memvalidasi apa
yang dilihat oleh mata dan dikaitkan dengan suara atau bau dari pasien. Pemeriksa
kemudian akan mengumpulkan dan menggolongkan informasi yang diterima oleh semua
indera tersebut yang akan membantu dalam membuat keputusan diagnosis atau
terapi.
Cara pemeriksaan :
1)
Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
2)
Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka (diupayakan pasien membuka sendiri
pakaiannya. Sebaiknya pakaian tidak dibuka sekaligus, namun dibuka seperlunya
untuk pemeriksaan sedangkan bagian lain ditutupi selimut).
3)
Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan abnormalitas.Contoh
: mata kuning (ikterus), terdapat struma di leher, kulit kebiruan(sianosis),
dan lain-lain.
4)
Catat hasilnya.
2.
Palpasi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan menggunakan
‘sense of touch’ Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan
dengan perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan.
Tangan dan jari-jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk
mengumpulkan data, misalnya metode palpasi ini dapat digunakan untuk mendeteksi
suhu tubuh(temperatur), adanya getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi dan
ukuran.
Rasa
nyeri tekan dan kelainan dari jaringan/organ tubuh. Teknik palpasi dibagi
menjadi dua:
a) Palpasi ringan
a) Palpasi ringan
Caranya
: ujung-ujung jari pada satu/dua tangan digunakan secara simultan. Tangan
diletakkan pada area yang dipalpasi, jari-jari ditekan kebawah perlahan-lahan
sampai ada hasil.
b) Palpasi dalam (bimanual)
b) Palpasi dalam (bimanual)
Caranya
: untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua tangan. Satu tangan untuk
merasakan bagian yang dipalpasi, tangan lainnya untuk menekan ke bawah. Dengan
Posisi rileks, jari-jari tangan kedua diletakkan melekat pada jari-jari pertama.
Cara pemeriksaan :
1)
Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri.
2)
Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman.
3)
Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
4)
Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
5)
Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan dengan tekanan ringan.
6)
Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan menandakan kelainan.
7)
Lakukan Palpasi secara hati-hati apabila diduga adanya fraktur tulang.
8)
Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9)
Rasakan dengan seksama kelainan organ/jaringan, adanya nodul, tumor
bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar/lembut,
ukurannya dan ada/tidaknya getaran/ trill, serta rasa nyeri raba / tekan.
10)
Catatlah hasil pemeriksaan yang didapat.
3.
Perkusi
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan
mendengarkan bunyi getaran/ gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh
dari bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari
atau tangan pada permukaan tubuh. Perjalanan getaran/ gelombang suara
tergantung oleh kepadatan media yang dilalui. Derajat bunyi disebut dengan
resonansi. Karakter bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran,
bentuk, dan kepadatan struktur di bawah kulit. Sifat gelombang suara yaitu
semakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan udara/ gas paling
resonan.
Cara
pemeriksaan :
1)
Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian yang akan
diperiksa.
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilex.
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilex.
3)
Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
4)
Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
5)
Lakukan perkusi secara seksama dan sistimatis yaitu dengan :
• Metode langsung yaitu mengentokan jari tangan langsung dengan menggunakan 1 atau 2 ujung jari.
•
Metode tidak langsung dengan cara sebagai berikut : Jari tengah tangan kiri di
letakkan dengan lembut di atas permukaan tubuh, ujung jari tengah dari tangan
kanan, untuk mengetuk persendian, Pukulan harus cepat dengan lengan tidak
bergerak dan pergelangan tangan rilek, Berikan tenaga pukulan yang sama pada
setiap area tubuh.
6). Bandingkan atau perhatikan bunyi
yang dihasilkan oleh perkusi.
a.
Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan
kualitas seperti drum (lambung).
b.
Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas
bergema (paru normal).
c.
Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kualitas
ledakan (empisema paru).
d.
Bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu
agak lama kualitas seperti petir (hati).
4. Auskultasi.
Adalah
pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang dihasilkan
oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal
yang didengarkan adalah: bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.
Penilaian pemeriksaan auskultasi
meliputi :
1) Frekuensi yaitu menghitung jumlah
getaran permenit.
2) Durasi yaitu lama bunyi yang
terdengar.
3) Intensitas bunyi yaitu ukuran
kuat/ lemahnya suara.
4) Kualitas yaitu warna nada/
variasi suara.
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah :
1. Rales : suara yang dihasilkan dari
eksudat lengket saat saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada inspirasi
(rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada klien pneumonia, TBC.
2. Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada edema paru.
3. Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
2. Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada edema paru.
3. Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
4. Pleura Friction Rub ; bunyi yang
terdengar “kering” seperti suara gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada klien
dengan peradangan pleura.
Cara pemeriksaan :
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk
atau berdiri tergantung bagian yang diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa
harus terbuka.
2) Pastikan pasien dalam keadaan
rilek dengan posisi yang nyaman.
3) Pastikan stetoskop sudah
terpasang baik dan tidak bocor antara bagian kepala, selang dan telinga.
4) Pasanglah ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa sesuai arah.
4) Pasanglah ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa sesuai arah.
5) Hangatkan dulu kepala stetoskop
dengan cara menempelkan pada telapak tangan
Pemeriksa.
6) Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan diperiksa.
6) Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan diperiksa.
7) Pergunakanlah bel stetoskop untuk
mendengarkan bunyi bernada rendah pada tekanan ringan yaitu pada bunyi jantung
dan vaskuler dan gunakan diafragma untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi
usus dan paru.
2.4 Pemeriksaan tanda vital.
Pemeriksaan tanda vital merupakan bagian dari data dasar
yang dikumpulkan oleh perawat selama pengkajian. Perawat mengkaji tanda vital
kapan saja klien masuk ke bagian perawatan kesehatan. Tanda vital dimasukkan ke
pengkajian fisik secara menyeluruh atau diukur satu persatu untuk mengkaji
kondisi klien. Penetapan data dasar dari tanda vital selama pemeriksaan fisik
rutin merupakan control terhadap kejadian yang akan datang.
Pemeriksaan tanda vital terdiri atas pemeriksaan nadi, pernafasan, tekanan darah dan suhu. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam menilai fisiologis dari sistem tubuh secara keseluruhan.
1. Pemeriksaan Nadi
Pemeriksaan tanda vital terdiri atas pemeriksaan nadi, pernafasan, tekanan darah dan suhu. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam menilai fisiologis dari sistem tubuh secara keseluruhan.
1. Pemeriksaan Nadi
Denyut nadi merupakan denyutan atau dorongan yang dirasakan
dari proses pemompaan jantung. Setiap kali bilik kiri jantung menegang untuk
menyemprotkan darah ke aorta yang sudah penuh, maka dinding arteria dalam
sistem peredaran darah mengembang atau mengembung untuk mengimbnagi
bertambahnya tekanan. Mengembangnya aorta menghasilkan gelombang di dinding
aorta yang akan menimbulkan dorongan atau denyutan.
Tempat-tempat
menghitung denyut nadi adalah:
- Ateri radalis : Pada
pergelangan tangan.
- Arteri temporalis : Pada tulang
pelipis.
- Arteri carotis : Pada leher.
- Arteri femoralis : Pada lipatan
paha.
- Arteri dorsalis pedis : Pada
punggung kaki.
- Arteri poplitea : pada lipatan
lutut.
- Arteri bracialis : Pada lipatan
siku.
Jumlah
denyut nadi yang normal berdasarkan usia seseorang adalah:
Bayi
baru lahir : 110 – 180 kali per menit
Dewasa
: 60 – 100 kali per menit
Usia
Lanjut : 60 -70 kali per menit
2. Pemeriksaan Tekanan Darah
Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan. Beberapa langkah
yang dilakukan pada pemeriksaan tekanan darah menggunakan sfigmomanometer air
raksa. Tempat untuk mengukur tekanan darah seseorang adalah : Lengan atas atau
Pergelangan kaki. Langkah pemeriksaan :
1. Memasang manset pada lengan atas, dengan batas bawah manset 2 – 3 cm dari lipat siku dan perhatikan posisi pipa manset yang akan menekan tepat di atas denyutan arteri di lipat siku ( arteri brakialis).
1. Memasang manset pada lengan atas, dengan batas bawah manset 2 – 3 cm dari lipat siku dan perhatikan posisi pipa manset yang akan menekan tepat di atas denyutan arteri di lipat siku ( arteri brakialis).
2.
Letakkan stetoskop tepat di atas arteri brakialis.
3.
Rabalah pulsasi arteri pada pergelangan tangan (arteri radialis).
4.
Memompa manset hingga tekanan manset 30 mmHg setelah pulsasi arteri radialis
menghilang.
5.
Membuka katup manset dan tekanan manset dibirkan menurun perlahan dengan
kecepatan 2-3 mmHg/detik.
6.
Bila bunyi pertama terdengar , ingatlah dan catatlah sebagai tekanan sistolik.
7.
Bunyi terakhir yang masih terdengar dicatat sebagai tekanan diastolic.
8.
Turunkan tekanan manset sampai 0 mmHg, kemudian lepaskan manset.
Yang harus diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan
tekanan darah sebaiknya sebelum dilakukan pemeriksaan pastikan kandung kemih
klien kosong dan hindari alkohol dan rokok, karena semua hal tersebut akan
meningkatkan tekanan darah dari nilai sebenarnya. Sebaiknya istirahat duduk dengan
tenang selama 5 menit sebelum pemeriksaan dan jangan berbicara saat
pemeriksaan. Pikiran harus tenang, karena pikiran yang tegang dan stress akan
meningkatkan tekanan darah. Jumlah tekanan darah yang normal berdasarkan usia
seseorang adalah:
1. Bayi usia di bawah 1 bulan : 85/15 mmHg
2. Usia 1 – 6 bulan : 90/60 mmHg
3. Usia 6 – 12 bulan : 96/65 mmHg
4. Usia 4 – 6 tahun : 100/60 mmHg
5. Usia 6 – 8 tahun : 105/60 mmHg
6. Usia 8 – 10 tahun : 110/60 mmHg
7. Usia 10 – 12 tahun : 115/60 mmHg
8. Usia 12 – 14 tahun : 118/60 mmHg
9. Usia 14 – 16 tahun : 120/65 mmHg
10. Usia 16 tahun ke atas : 130/75 mmHg
11. Usia lanjut : 130-139/85-89 mmHg
3. Pemeriksaan Pernafasan.
Pemeriksaan Pernafasan merupakan pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai proses pengambilan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai frekwensi, irama, kedalaman, dan tipe
atau pola pernafasan. Pernapasan adalah tanda vital yang paling mudah di kaji
namun paling sering diukur secara sembarangan. Perawat tidak boleh menaksir
pernapasan. Pengukuran yang akurat memerlukan observasi dan palpasi gerakan
dinding dada.
Tabel frekuensi nafas per menit berdasarkan usia,
USIA
|
FREKUENSI NAFAS PER MENIT
|
Bayi baru lahir
|
30-50
|
Bayi (6 bulan)
|
35-40
|
Toodler
|
25-32
|
Anak-anak
|
20-30
|
Remaja
|
16-19
|
Dewasa
|
12-20
|
Tabel pola
pernafasan.
POLA PERNAFASAN
|
DESKRIFSI
|
Dispnea
|
Susah
bernafas yang menunjukkan adanya retraksi.
|
Bradipnea
|
Frekuensi
pernafasan cepat yang abnormal.
|
Hiperpnea
|
Pernafasan
cepat dan normal atau peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan.
|
Apnea
|
Tidak
ada pernafasan.
|
Cheyne
stokes
|
Periode
pernafasan cepat dalam yang bergantian dengan periode apnea, umumnya pada
bayi dan anak selama tidur nyenyak, depresi, dan kerusakan otak.
|
Kusmaul
|
Nafas
normal yang abnormal bisa cepat, normal, atau lambat umumnya pada asidosis
metabolik.
|
Biot
|
Nafas
tidak teratur, menunjukkan adanya kerusakan atak bagian bawah dan depresi
pernafasan.
|
4. Pemeriksaan Suhu.
Merupakan salah satu pemeriksaan yang digunakan untuk
menilai kondisi metabolisme dalam tubuh, dimana tubuh menghasilkan panas secara
kimiawi maupun metabolismedarah.Suhu dapat menjadi salah
satu tanda infeksi atau peradangan yakni demam (di atas > 37°C). Suhu yang
tinggi juga dapat disebabkan oleh hipertermia. Suhu tubuh yang jatuh atau
hipotermia juga dinilai. Untuk pemeriksaan yang cepat, palpasi dengan punggung
tangan dapat dilakukan, tetapi untuk pemeriksaan yang akurat harus dengan
menggunakan termometer. Termometer yang digunakan bisa berupa thermometer oral,
thermometer rectal dan thermometer axilar.
Proses pengaturan suhu terletak pada hypotalamus dalam
sistem saraf pusat. Bagian depan hypotalamus dapat mengatur pembuangan panas dan hypotalamus bagian belakang
mengatur upaya penyimpanan panas.
Pemeriksaan suhu dapat dilakukan melalui oral, rektal, dan
aksila yang digunakan untuk menilai keseimbangan suhu tubuh serta membantu
menentukan diagnosis dini suatu penyakit.
Tempat untuk mengukur suhu badan seseorang adalah:
Tempat untuk mengukur suhu badan seseorang adalah:
- Ketiak/ axilea, pada area ini
termometer didiamkan sekitar 10 – 15 menit.
- Anus/ dubur/ rectal, pada area
ini termometer didiamkan sekitar 3 – 5 menit.
- Mulut/oral, pada area ini
termometer didiamkan sekitar 2 – 3 menit
Seseorang
dikatakan bersuhu tubuh normal, jika suhu tubuhnya berada pada 36ºC – 37,5ºC.
2.5 Pemeriksaan fisik head to toe.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien perlu dipersiapkan
sehingga kenyamanan tetap terjaga, misalnya pasien dianjurkan buang air kecil
terlebih dahulu. Jaga privasi pasien dengan hanya membuka bagian yang akan
diperiksa, serta ajak teman ketiga bila pemeriksa dan pasien berlainan jenis
kelamin. Beri tahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan. Atur waktu
seefisien mungkin sehingga pasien maupun pemeriksa tidak kecapaian. Atur posisi
pasien untuk mempermudah pemeriksaan.
1. Cuci tangan.
2. Pakai handscoon.
3. Kaji keadaan umum pasien (tingkat kesadaran).
4. Kaji tanda-tanda vital.
5.
Pemeriksaan fisik kepala.
Tujuan
pengkajian kepala adalah mengetahui bentuk dan fungsi kepala. Pengkajian
diawalai dengan inspeksi kemudian palpasi.
Cara
inspeksi dan palpasi kepala.
1)
Atur pasien dalam posisi duduk atau berdiri (bergantung pada kondisi pasien dan
jenis pengkajian yang akan dilakukan).
2)
Bila pasien memakai kacamata, anjurkan untuk melepaskannya.
3)
Lakukan inspeksi, yaitu dengan memperhatikan kesimetrisan wajah, tengkorak,
warna dan distribusi rambut, serta kulit kepala. Wajah normalnya simetris
antara kanan dan kiri. Ketidaksimetrisan wajah dapat menjadi suatu petunjuk
adanya kelumpuhan/ paresif saraf ketujuh. Bentuk tengkorak yang normal adalah
simetris dengan bagian frontal menghadap kedepan dan bagian parietal menghadap
kebelakang. Distribusi rambut sangat bervariasi pada setiap orang, dan kulit
kepala normalnya tidak mengalami peradangan, tumor, maupun bekas luka/sikatriks.
4) Lanjutkan dengan palpasi untuk mengetahui keadaan rambut, massa, pembekuan, nyeri tekan, keadaan tengkorak dan kulit kepala.
4) Lanjutkan dengan palpasi untuk mengetahui keadaan rambut, massa, pembekuan, nyeri tekan, keadaan tengkorak dan kulit kepala.
a)
Pemeriksaan fisik mata
Kelengkapan
dan keluasan pengkajian mata bergantung pada informasi yang diperlukan. Secara umum
tujuan pengkajian mata adalah mengetahui bentuk dan fungsi mata.
Cara inspeksi mata
Cara inspeksi mata
Dalam
inspeksi mata, bagian-bagian mata yang perlu diamati adalah bola mata, kelopak
mata, konjungtiva, sklera, dan pupil.
1) Amati bola mata terhadap adanya protrusi, gerakan mata, lapang pandang, dan visus.
2) Amati kelopak mata, perhatikan bentuk dan setiap kelainan dengan cara sebagai berikut.
a. Anjurkan pasien melihat kedepan.
b.
Bandingkan mata kanan dan kiri.
c.
Anjurkan pasien menutup kedua mata.
d.
Amati bentuk dan keadaan kulit pada kelopak mata, serta pada bagian pinggir
kelopak mata, catat setiap ada kelainan, misalnya adanya kemerah-merahan.
e.
Amati pertumbuhan rambut pada kelopak mata terkait dengan ada/tidaknya bulu
mata, dan posisi bulu mata.
f.
Perhatikan keluasan mata dalam membuka dan catat bila ada dropping kelopak mata
atas atau sewaktu mata membuka (ptosis).
3)
Amati konjungtiva dan sclera dengan cara sebagai berikut :
a.
Anjurkan pasien untuk melihat lurus kedepan.
b.
Amati konjungtiva untukmmengetahui ada/tidaknya kemerah-merahan, keadaan
vaskularisasi, serta lokasinya.
c.
Tarik kelopak mata bagian bawah dengan menggunakan ibu jari.
d.
Amati keadaan konjungtiva dan kantong konjungtiva bagian bawah, catat bila
didapatkan infeksi atau pus atau bila warnanya tidak normal, misalnya anemic.
e.
Bila diperlukan, amati konjungtiva bagian atas, yaitu dengan cara
membuka/membalik kelopak mata atas dengan perawat berdiri dibelakang pasien.
f.
Amati warna sclera saat memeriksa konjungtiva yang pada keadaan tertentu
warnanya dapat menjadi ikterik.
g.
Amati warna iris serta ukuran dan bentuk pupil. Kemudian lanjutkan dengan
mnegevaluasi reaksi pupil terhadap cahaya. Normalnya bentuk pupil adalam sama
besar (isokor). Pupil yang mengecil disebut miosis,dan amat kecil disebut
pinpoint, sedangkan pupil yang melebar/ dilatasi disebut midriasis.
Cara
inspeksi gerakan mata.
a.
Anjurkan pasien melihat kedepan.
b.
Amati apakah kedua mata tetap diam atau bergerak secara spontan (nistagmus)
yaitu gerakan ritmis bola mata, mula-mula lambat bergerak kesatu arah,kemudian
dengan cepat kembali keposisi semula.
c. Bila ditemukan adanya nistagmus, amati bentuk, frekuensi (cepat atau lambat), amplitudo (luas/sempit) dan durasinya (hari/minggu).
d.
Amati apakah kedua mata memandang lurus kedepan atau salah satu mengalami
deviasi.
e. Luruskan jemari telunjuk anda dan dekatkan dengan jarak sekitar 15-30 cm.
f. Beri tahu pasien untuk mengikuti gerakan jari anda dan pertahankan posisi kepala pasien. Gerakan jari anda ke delapan arah untuk mengetahui fungsi 6 otot mata.
e. Luruskan jemari telunjuk anda dan dekatkan dengan jarak sekitar 15-30 cm.
f. Beri tahu pasien untuk mengikuti gerakan jari anda dan pertahankan posisi kepala pasien. Gerakan jari anda ke delapan arah untuk mengetahui fungsi 6 otot mata.
Cara
inspeksi lapang pandang.
a.
Berdiri di depan pasien.
b.
Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan cara menutup mata yang tidak
diperiksa.
c.
Beri tahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada satu titik
pandang, misalnya hidung anda.
d.
Gerakan jari anda pada satu garis vertical/ dari samping, dekatkan kemata
pasien secara perlahan-lahan.
e.
Anjurkan pasien untuk member tahu sewaktu mulai melihat jari anda.
f.
Kaji mata sebelahnya.
Cara
pemeriksaan visus (ketajaman penglihatan).
a.
Siapkan kartu snellen atau kartu yang lain untuk pasien dewasa atau kartu
gambar untuk anak-anak.
b. Atur kursi tempat duduk pasien dengan jarak 5 atau 6 meter dari kartu snellen.
b. Atur kursi tempat duduk pasien dengan jarak 5 atau 6 meter dari kartu snellen.
c.
Atur penerangan yang memadai sehingga kartu dapat dibaca dengan jelas.
d.
Beri tahu pasien untuk menutup mata kiri dengan satu tangan.
e.
Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan cara pasien disuruh membaca mulai dari
huruf yang paling besar menuju huruf yang kecil dan catat tulisan terakhir yang
masih dapat dibaca oleh pasien.
f.
Selanjutnya lakukan pemeriksaan mata kiri.
Cara
palpasi mata.
Pada palpasi mata dikerjakan dengan tujuan untuk mengetahui
tekanan bola mata dan mengetahui adanya nyeri tekan. Untuk mengukur tekanan
bola mata secara lebih teliti, diperlukan alan tonometri yang memerlukan
keahlian khusus.
a.
Beri tahu pasien untuk duduk.
b.
Anjurkan pasien untuk memejamkan mata.
c.
Lakukan palpasi pada kedua mata. Bila tekanan bola mata meninggi, mata teraba
keras.
b)
Pemeriksaan fisik telinga
Pengkajian telinga secara umum bertujuan untukmengetahui
keadaan teling luar, saluran telinga, gendang telinga/membrane tipani, dan
pendengaran. Alta yang perlu disiapkan dalam pengkajian antara lain otoskop,
garpu tala dan arloji.
Cara
inspeksi dan palpasi pada telinga.
1.
Bantu pasien dalam posisi duduk.
2.
Atur posisi anda duduk meghadap sisi telinga pasien yang akan dikaji.
3.
Untuk pencahayaan, gunakan auriskop, lampu kepala, atau sumber cahaya lain.
4.
Mulai amati telinga luar, periksa ukuran, bentuk, warna, lesi, dan adanya massa
pada pinna.
5.
Lanjutkan pengkajian palpasi dengan cara memegang telinga dengan ibu jari dan
jari telunjuk.
6.
Palpasi kartilago telinga luar secara sistematis, yaitu dari jaringan lunak,
kemudian jaringan keras, dan catat bila ada nyeri.
7.
Tekan bagian tragus kedalam dan tekan pula tulang telinga di bawah daun
telinga. Bila ada peradangan, pasien akan merasa nyeri.
8.
Bandingkan telinga kanan dan kiri.
9.
Bila diperluka, lanjutkan pengkajian telinga dalam.
10.
Pegang bagian pinggir daun telinga/heliks dan secara perlahan-lahan tarik daun
telinga keatas dan ke belakang sehingga lubang telinga menjadi lurus dan mudah
diamati.
11.
Amati pintu masuk lubang telinga dan perhatikan ada/ tidaknya peradangan,
pendarahan atau kotoran.
Pemeriksaan
pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan untuk mengetahui fungsi
telinga. Secara sederhana pemeriksaan pendengaran dapat diperiksa dengan
mengguanakan suara bisikan. Pendengaran yang baik akan mudah megetahui adanya
bisikan.
Cara
pemeriksaan pendengaran dengan bisikan.
1.
Atur posisi pasien berdiri membelakangi anda pada jarak 4,5-6m.
2.
Anjurkan pasien untuk menutup salah satu telinga yang tidak diperiksa.
3.
Bisikan suatu bilangan.
4.
Beritahu pasien untuk mengulangi bilangan yang didengar.
5.
Periksa telinga sebelahnya dengan cara yang sama.
6.
Bandingkan kemampuan mendengar pada telinga kanan dan kiri pasien.
Cara
pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kualitas pendengaran secara lebih teliti. Pemeriksaan dengan garpu
tala dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksaan Rinne dan pemeriksaan Webber.
1. Pemeriksaan Rinne
a)
Vibrasikan garpu tala
b)
Letakan garpu tala pada mastoid kanan pasien
c)
Anjurkan pasien untuk member tahu sewaktu tidak merasakan getaran lagi.
d)
Angkatan garpu tala dan pegang di depan telinga kanan pasien dengan posisi
garpu tala parallel terhadap lubang telinga luar pasien.
e)
Anjurkan pasien untuk member tahu apakah masih mendengar suara getaran atau
tidak.
Normalnya suara getaran masih dapat didengar karena konduksi
udara lebih baik di banding konduksi tulang.
2. Pemeriksaan Webber.
a)
Vibrasikan garpu tala
b)
Letakan garpu tala di tengah-tengah puncak kepala pasien
c)
Tanya pasien tentang telinga yang mendengar suara getaran lebih keras.
Normalnya kedua telinga dapat mendengar secara seimbang sehingga getaran
dirasakan di tengah-tengah telinga.
d)
Catat hasil pendengaran.
e)
Tentukan apakah pasien mengalami gangguan konduksi tulang, udara, atau
keduanya.
c)
Pemeriksaan fisik hidung dan sinus.
Hidung dikaji dengan tujuan untuk mengetahui keadaan bentuk
dan fungsi tulang hidung. Pengkajian hidung dimulai dari bagian luar, bagian
dalam dan sinus-sinus.
Alat yang perlu dipersiapkan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin, dan sumber penerangan.
Alat yang perlu dipersiapkan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin, dan sumber penerangan.
Cara
inspeksi dan palpasi hidung bagian luar serta palpasi sinus.
1.
Duduk menghadap pasien.
2.
Atur penerangan dan amati hidung bagian luar dari sisi depan, samping dan atas,
perhatikan bentuk atau tulang hidung dari ketiga sisi ini.
3.
Amati wanrna dan pembengkakan pada kulit hidung.
4.
Amati kesimetrisan hidung
5.
Lanjutkan dengan melakukan palpasi hidung luar, dan catat bila ditemukan
ketidak abnormalan kulit atau tulang hidung.
6.
Kaji mobilitas septum nasi.
7.
Palpasi sinus maksilaris, frontalis dan etmoidalis. Perhatikan jika ada nyeri.
Cara
inspeksi hidung bagian dalam.
1.
Duduk menghadap pasien
2.
Pasang lampu kepala, atur lampu sehingga tepat menerangi lubang hidung.
3.
Elevasikan lubang hidung pasien dengan cara menekan hidung pasien secara lembut
dengan ibu jari anda, kemudian amati bagian anterior lubang hidung.
4.
Amati posisi septum nasi dan kemungkinan adanya perfusi.
5.
Amati bagian konka nasalis inferior
6.
Pasang ujung spekulum hidung pada lubang hidung sehingga rongga hidung dapat
diamati.
7.
Untuk memudahkan pengamatan pada dasar hidung, atur posisi kepala sehingga
menengadah.
8.
Amati bentuk dan posisi septum, kartilago, dan dinding-dinding rongga hidung
serta selaput lendir pada rongga hidung (warna, sekresi, bengkak)
9.
Bila sudah selesai lepaskan speculum perlahan-lahan.
d)
Pemeriksaan fisik hidung dan faring.
Pengkajian mulut dan faring dilakukan dengan posisi pasien
duduk. Pencahayaan harus baik, sehingga semua bagian dalam mulut dapat diamati
dengan jelas. Pengamatan diawali dengan mengamati bibir, gigi, gusi, lidah,
selaput lendir, pipi bagian dalam, lantai dasar mulut, dan platum/
langit-langit mulut, kemudian faring.
Cara
inspeksi mulut.
1.
Bantu pasien duduk berhadapan dan tinggi yang sejajar dengan anda.
2.
Amati bibir untuk mengetahui adanya kelainan congenital, bibir sumbing, warna
bibir, ulkus, lessi dan massa.
3.
Lanjutkan pada pengamatan gigi, anjurkan pasien untuk membuka mulut.
4.
Atur pencahayaan yang memadai, bila perlu gunakan penekan lidah, agar gigi
tampak jelas.
5.
Amati posisi, jarak, gigi rahan atas dan bawah, ukuran, warna, lesi, atau
adanya tumor pada setiap gigi. Amati juga akar-akar gigi, dan gusi secara
khusus.
6.
Periksa setiap gigi dengan cara mengetuk secara sistematis, bandingkan gigi
bagian kiri, kanan, atas, dan bawah, serta anjurkan pasien untuk member tahu
bila merasa nyeri sewaktu giginya diketuk.
7.
Perhatikan pula cirri-ciri umum sewaktu melakukan pengkajian antara lain
kenersihan mulut dan bau mulut.
8.
Lanjutkan pengamatan pada lidah dan perhatikan kesimetrisannya. Minta pasien
menjulurkan lidah dan amati kelurusan, warna, ulkus dan setiap ada kelainan.
9.
Amati warna, adanya pembengkakan, tumor, sekresi, peradangan, ulkus, dan
perdarahan pada selaput lendir semua bagian mulut secara sistematis.
10.
Lalu lanjutkan pada inspeksi faring, dengan menganjurkan pasien membuka mulut
dan menekan lidah pasien kebawah sewaktu pasien berkata “ah”. Amati
kesimetrisan uvula pada faring.
Cara
palpasi mulut.
Palpasi pada mulut dilakukan terutama bila dari inspeksi
belum diperoleh data yang meyakinkan. Tujuannya adalah mengetahui bentuk dan
setiap ada kelainan yang dapat diketahui dengan palpasi, yang meliputi pipi,
dasar mulut, palatum, dan lidah.
1. Atur posisi duduk menghadap anda, anjurkan pasien membuka mulut.
1. Atur posisi duduk menghadap anda, anjurkan pasien membuka mulut.
2.
Pegang pipi di antara ibu jari dan jari telunjuk. Palpasi pipi secara
sistematis, dan perhatikan adanya tumor atau pembengkakan. Bila ada
pembengkakan, tentukan menurut ukuran, konsistensi, hubungan dengan daerah
sekitarnya, dan adanya nyeri.
3.
Lanjutkan palpasi pada platum dengan jari telunjuk dan rasakan adanya
pembengkakan dan fisura.
4.
Palpasi dasar mulut dengan cara minta pasien mengucapkan “el”, kemudian lakukan
palpasi pada dasar mulut secara sistematis dengan jari telunjuk tangan kanan,
catat bila ditemukan pembengkakan.
5.
Palpasi lidah dengan cara meminta pasien menjulurkan lidah, pegang lidah dengan
kasa steril menggunakan tangan kiri. Dengan jari telunjuk tangan kanan, lakukan
palpasi lidah terutama bagian belakang dan batas-batas lidah.
e)
Pemeriksaan fisik leher.
Leher dikaji setelah pengkajian kepala selesai dikerjakan.
Tujuannya adalah mengetahui bentuk leher, serta organ-organ penting yang
berkaitan. Dalam pengkajian ini, sebaiknya baju pasien dilepaskan, sehingga
leher dapat dikaji dengan mudah.
Cara
inspeksi leher
1.
Anjurkan pasien untuk melepaskan baju, atur pencahayaan yang baik.
2.
Lakukan inspeksi leher untuk mengetahui bentuk leher, warna kulit, adanya
pembengkakan, jaringan parut, dan adanya massa. Palpasi dilakukan secara
sistematis, mulai dari garis tengah sisi depan leher, samping, dan belakang.
Warna kulit leher normalnya sama dengan kulit sekitarnya. Warna kulit leher
dapat menjadi kuning pada semua jenis ikterus, dan menjadi merah, bengkak,
panas serta ada nyeri tekan bila mengalami peradangan.
3.
Inspeksi tiroid dengan cara meminta pasien menelan, dan amati gerakan kelenjar
tiroid pada insisura jugularis sterni. Normalnya gerakan kelenjar tiroid tidak
dapat dilihat kecuali pada orang yang sangat kurus.
Cara
palpasi leher
Palpasi
pada leher dilakukan terutama untuk mengetahui keadaan dan letak kelenjar
limfe, kelenjar tiroid, dan trakea.
1.
Duduk dihadapan pasien
2. Anjurkan pasien untuk menengadah kesamping menjauhi perawat pemeriksa sehingga jaringan lunak dan otot-otot akan relaks.
3. Lakukan palpasi secara sistematis,dan tentukan menurut lokasi, batas-batas, ukuran, bentuk dan nyeri tekan pada setiap kelompok kelenjar limfe yang terdiri dari :
a.
Preaurikular – didepan telinga
b.
Postaurikular – superficial terhadap prosesus mostoideus
c.
Oksipital – di dasar posterior tulang kepala
d.
Tonsilar – disudut mandibular
e.
Submandibular – ditengah-tengah antara sudut dan ujung mandibular
f.
Submental – pada garis tengah beberapa cm dibelakang ujung mandibular
g.
Servikal superficial – superficial terhadap sternomastoideus
h.
Servikal posterior – sepanjang tepi anterior trapezius
i.
Servikal dalam – dalam sternomastoideus dan sering tidak dapat dipalpasi
j.
Supraklavikular – dalam suatu sudut yang terbentuk oleh klavikula dan
sternomastoideus.
4.
Lakukan palpasi kelenjar tiroid dengan cara :
a.
Letakan tangan anda pada leher pasien.
b.
Palpasi pada fosa suprasternal dengan jari telunjuk dan jari tengah.
c.
Minta pasien menelan atau minum untuk memudahkan palpasi.
d.
Palpasi dapat pula dilakuakan dengan perawat berdiri dibelakang pasien, tangan
diletakan mengelilingi leher dan palpasi dilakukan dengan jari kedua dan
ketiga.
5.
Lakukan palpasi trakea dengan cara berdiri disamping kanan pasien. Letakan jari
tengah pada bagian bawah trakea dan raba trakea ke atas, ke bawah, dan ke
samping sehingga kedudukan trakea dapat diketahui.
Cara
pengkajian gerakan leher
Pengkajian gerak leher dilakukan paling akhir pada pemeriksaan
leher. Pengkajian ini dilakukan baik secara aktif maupun pasif. Untuk
mendapatkan data yang akurat, leher dan dada bagian atas harus bebas dari
pakaian dan perawat berdiri/ duduk dibelakang pasien.
1) Lakukan pengkajian gerakan leher secara aktif. Minta pasien menggerakan leher dengan urutan sebagai berikut :
1) Lakukan pengkajian gerakan leher secara aktif. Minta pasien menggerakan leher dengan urutan sebagai berikut :
a.
Antefleksi, normalnya 45º
b.
Dorsifleksi, normalnya 60º
c.
Rotasi kekanan, normalnya 70º
d.
Rotasi ke kiri, normalnya 70º
e.
Lateral felksi ke kiri, normalnya 40º
f.
Lateral fleksi ke kanan, normalnya 40º
2) Tentukan sejauh mana pasien mampu menggerakan lehernya. Normalnya gerakan dapat dilakukan secara terkoordinasi tanpa gangguan. Bila diperlukan, lakukan pengkajian gerakan secara pasif dengan cara kepala pasien dipegang dengan dua tangan kemudian digerakan dengan urutan yang sama seperti pada pengkajian gerakan leher secara aktif.
6.
Pemeriksaan fisik bagian dada.
a)
Inspeksi
Dada diinspeksi terutama postur, bentuk, dan kesimetrisan
ekspansi, serta keadaan kulit. Postur dapat bervariasi, misalnya pada pasien
dengan masalah pernafasan kronis, klavikulanya menjadi elevasi. Bentuk dada
berbeda antara bayi dan orang dewasa. Dada bayi berbentuk melingkar dengan
diameter dari depan ke belakang (antero-posterior) sama dengan diameter
transversal. Pada orang dewasa, perbandingan antara diameter antero-posterior
dengan diameter transversal adalah 1 : 2. Bentuk dada jadi tidak normal pada
keadaan tertentu, misalnya pigeon chest, yaitu bentuk dada yang ditandai dengan
diameter transversal sempit, diameter antero-posterior mengecil. Contoh
kelainan bentuk dada lainnya adalah barrel chest yang ditandai dengan diameter
antero-posterior dan transversal mempunyai perbandingan 1 : 1. Ini dapat
diamati pada pasien kifosis. Pada saat mengkaji bentuk dada, perawat sekaligus
mengamati kemungkinan adanya kelainan tulang belakang, seperti kifosis,
lordosis, atau skoliosis. Inspeksi dada dikerjakan baik pada
saat dada bergerak atau diam, terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan
pernafasan. Sedangkan untuk mengamati adanya kelainan bentuk tulang belakang
(kifosis, lordosis, skoliosis), akan lebih mudah dilakukan pada saat dada tidak
bergerak. Pengamatan dada pada saat bergerak dilakukan untuk
mengetahui frekuensi, sifat, dan ritme / irama pernapasan. Normalnya frekuensi
pernapasan berkisar antara 16 sampai 24 kali setiap menit pada orang dewasa.
Frekuensi pernapasan yang lebih dari 24 kali per menit disebut takipnea.
Sifat pernapasan pada prinsipnya ada dua macam, yaitu pernapasan dada yang ditandai dengan pengembangan dada, dan pernapasan perut yang ditandai dengan pengembangan perut. Pada umumnya sifat pernapasan yang sering ditemukan adalah kombinasi antara pernapasan dada dan perut. Pada keadaan tertentu, ritme pernapasan dapat menjadi tidak normal, misalnyapernapasan Kussmaul, yaitu pernapasan yang cepat dan dalam, seperti terlihat pada pasien yang mengalami koma diabetikum. Pernapasan Biot, yaitu pernapasan yang ritme maupun amplitudonya tidak teratur, diselingi periode apnea, dan dapat ditemukan pada pasien yang mengalami kerusakan otak. Pernapasan Cheyne-Stokes, yaitu pernapasan dengan amplitude yang mula – mula kecil, makin lama makin membesar, kemudian mengecil lagi, diselingi periode apnea, dan biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami gangguan saraf otak. Kulit daerah dada perlu diamati secara seksama untuk mengatahui adanya edema atau tonjolan (tumor).
Sifat pernapasan pada prinsipnya ada dua macam, yaitu pernapasan dada yang ditandai dengan pengembangan dada, dan pernapasan perut yang ditandai dengan pengembangan perut. Pada umumnya sifat pernapasan yang sering ditemukan adalah kombinasi antara pernapasan dada dan perut. Pada keadaan tertentu, ritme pernapasan dapat menjadi tidak normal, misalnyapernapasan Kussmaul, yaitu pernapasan yang cepat dan dalam, seperti terlihat pada pasien yang mengalami koma diabetikum. Pernapasan Biot, yaitu pernapasan yang ritme maupun amplitudonya tidak teratur, diselingi periode apnea, dan dapat ditemukan pada pasien yang mengalami kerusakan otak. Pernapasan Cheyne-Stokes, yaitu pernapasan dengan amplitude yang mula – mula kecil, makin lama makin membesar, kemudian mengecil lagi, diselingi periode apnea, dan biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami gangguan saraf otak. Kulit daerah dada perlu diamati secara seksama untuk mengatahui adanya edema atau tonjolan (tumor).
Cara
inspeksi pada dada secara rinci.
1)
Lepaskan baju pasien dan tampakkan badan pasien sampai batas pinggang.
2)
Atur posisi pasien (posisi diatur bergantung pada tahap pemeriksaan dan kondisi
pasien). Pasien dapat diminta mengambil posisi duduk atau berdiri.
3)
Yakinkan bahwa perawat sudah siap (tangan bersih dan hangat), ruangan dan
stetoskop disiapkan.
4)
Beri penjelasan kepada pasien tentang apa yang akan dikerjakan dan anjurkan
pasien tetap rileks.
5)
Lakukan inspeksi bentuk dada dari empat sisi : depan, belakang, sisi kanan, dan
sisi kiri pada saat istirahat (diam), saat inspirasi dan saat ekspirasi. Pada
saat inspeksi dari depan, perhatikan area klavikula, fosa supraklavikularis dan
fosa infraklavikularis, sternum, dan tulang rusuk. Dari sisi belakang, amati
lokasi vertebra servikalis ke-7 (puncak scapula terletak sejajar dengan
vertebra torakalis ke-8), perhatikan pula bentuk tulang belakang dan catat bila
ada kelainan bentuk. Terakhir, inspeksi bentuk dada secara keseluruhan untuk
mengetahui adanya kelainan, misalnya bentuk barrel chest.
6)
Amati lebih teliti keadaan kulit dada dan catat bila ditemukan adanya pulsasi
pada interkostal atau di bawah jantung, retraksi intrakostal selama bernapas,
jaringan parut, dan tanda – tanda menonjol lainnya.
b) Palpasi
Palpasi
dada dilakukan untuk mengkaji keadaan kulit dinding dada, nyeri tekan, massa,
peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan taktil fremitus (vibrasi yang dapat
teraba yang dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang
berbicara).Nyeri tekan dapat timbul akibat adanya luka setempat, peradangan,
metastasis tumor ganas, atau pleuritis. Bila ditemukan pembengkakan atau
benjolan pada dinding dada, perlu dideskripdikan ukuran, konsistensi, dan
suhunya secara jelas sehingga mempermudah dalam menentukan apakah kelainan
tersebut disebabkan oleh penyakit tulang, tumor, bisul, atau proses peradangan. Pada saat bernapas, normalnya dada
bergerak secara simetris. Gerakan menjadi tidak simetris pada saat terjadi
atelektasis paru (kolaps paru). Getaran taktil fremitus dapat lebih keras atau
lebih lemah dari normal. Getaran taktil fremitus dapat lebih keras atau lebih
lemah dari normal. Getaran menjadi lebih keras pada saat terdapat infiltrate.
Getaran yang melemah ditemukan pada keadaan emfisema, pneumotoraks,
hidrotoraks, dan atelektasis obstruktif.
Cara
kerja palpasi dinding dada
1)
Lakukan palpasi untuk mengetahui ekspansi paru – paru / dinding dada :
a.
Letakkan kedua telapak tangan secara datar pada dinding dada depan.
b.
Anjurkan pasien untuk menarik napas.
c.
Rasakan gerakan dinding dada dan bandingkan sisi kanan dan sisi kiri.
d.
Berdiri di belakang pasien, letakkan tangan Anda pada sisi dada pasien,
perhatikan gerakan ke samping sewaktu pasien bernapas.
e.
Letakkan kedua tangan Anda di punggung pasien dan bandingkan gerakan kedua sisi
dinding dada.
2)
Lakukan palpasi untuk mengkaji taktil fremitus. Minta pasien menyebut bilangan
“enam – enam” sambil perawat melakukan palpasi dengan cara :
a.
Letakkan telapak tangan Anda pada bagian belakang dinding dada dekat apeks paru
– paru.
b.
Ulangi langkah a dengan tangan bergerak ke bagian basis paru – paru.
c.
Bandingkan fremitus pada kedua sisi paru – paru serta di antara apeks dan basis
paru –
paru.
d. Lakukan palpasi taktil fremitus pada dinding dada anterior.
d. Lakukan palpasi taktil fremitus pada dinding dada anterior.
Pada pengkajian taktil fremitus, vibrasi / getaran bicara
secara normal dapat ditransmisikan melalui dinding dada. Getaran lebih jelas
terasa pada apeks paru–paru. Getaran pada dinding dada lebih keras daripada
dinding dada kiri karena bronkus sisi kanan lebih besar. Pada pria, fremitus
lebih mudah terasa karena suara pria lebih besar daripada suara wanita.
c)
Perkusi
Keterampilan perkusi dada bagi perawat secara umum tidak
banyak dipakai sehingga praktik di laboratorium untuk keterampilan ini hanya
dilakukan bila perlu dan di bawah pengawasan instruktur ahli.
Cara
perkusi paru – paru secara sistematis
1.
Lakukan perkusi paru – paru anterior dengan posisi pasien terlentang.
a.
Perkusi mulai dari atas klavikula ke bawah pada setiap ruang interkostal.
b.
Bandingkan sisi kanan dan kiri
2. Lakukan perkusi paru – paru posterior dengan posisi pasien baiknya duduk atau berdiri.
a. Yakinkan dulu bahwa pasien duduk lurus.
b.
Mulai perkusi dari puncak paru – paru ke bawah.
c.
Bandingkan sisi kanan dan kiri.
d.
Catat hasil perkusi dengan jelas.
3. Lakukan perkusi paru – paru posterior untuk menentukan gerakan diafragma (penting pada pasien emfisema).
a.
Minta pasien untuk menarik napas panjang dan menahannya.
b.
Mulai perkusi dari atas ke bawah (dari resonan ke redup) sampai bunyi redup
didapatkan.
c.
Beri tanda dengan spidol pada tempat didapatkan bunyi redup (biasanya pada
ruang interkostal ke-9, sedikit lebih tinggi dari posisi hati di dada kanan).
d.
Minta pasien untuk mengembuskan napas secara meksimal dan menahannya.
e.
Lakukan perkusi dari bunyi redup (tanda I) ke atas. Biasanya bunyi redup ke-2
ditemukan di atas tanda I. Beri tanda pada kulit yang ditemukan bunyi redup
(tanda II).
f.
Ukur jarak antara tanda I dan tanda II. Pada wanita, jarak kedua tanda ini
normalnya 3 – 5 cm dan pada pria adalah 5 – 6 cm.
d)
Aukultasi
Aukultasi biasanya dilaksanakan dengan menggunakan
stetoskop. Aukultasi berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkial dan mengetahui adanya sumbatan aliran udara. Aukultasi juga
berguna untuk mengkaji kondisi paru–paru dan rongga pleura. Untuk dapat
melakukan auskultasi, perawat harus mengetahui bunyi / suara napas yang
dikategorikan menurut intensitas, nada, dan durasi antara inspirasi dan ekspirasi
seperti di bawah ini.
1. Vesikuler Insp > Eksp Rendah Lembut Sebagian area paru –
paru kanan dan kiri
2. Bronkovesikuler Insp = Eksp Sedang Sedang Sering pada ruang interkostal ke-1 dan ke-2 dan diantara scapula
2. Bronkovesikuler Insp = Eksp Sedang Sedang Sering pada ruang interkostal ke-1 dan ke-2 dan diantara scapula
3.Bronkial Eksp > Insp Tinggi Keras Di atas manubrium Trakeal Insp = Eksp Sangat tinggi
Sangat keras Di atas trakea pada leher
Cara
kerja untuk melakukan auskultasi
1.
Duduk menghadap pasien.
2.
Minta pasien bernapas secara normal, mulai auskultasi dengan meletakan
stetoskop pada trakea, dan dengan bunyi napas secara teliti.
3.
Lanjutkan auskultasi suara napas yang normal dengan arah seperti pada perkusi
dan perhatikan bila ada tambahan.
4.
Ulangi auskultasi pada dada lateral dan posterior serta bandngkan sisi kanan
dan kiri.
7.
Pemeriksaan fisik abdomen
a)
Inspeksi
Inspeksi
dilakukan pertama kali untuk mengetahui bentuk dan gerakan – gerakan abdomen.
Cara kerja inspeksi
Cara kerja inspeksi
1)
Atur posisi yang tepat
2)
Lakukan pengamatan bentuk abdomen secara umum, kontur permukaan abdomen, dan
adanya retraksi, penonjolan, serta ketidaksimetrisan.
3)
Amati gerakan kulit abdomen saat inspirasi dan ekspirasi.
4)
Amati pertumbuhan rambut dan pigmentasi pada kulit secara lebih teliti.
b) Auskultasi
Perawat
melakukan auskultasi untuk mendengarkan dua suara abdomen, yaitu bising usus
(peristaltic) yang disebabkan oleh perpindahan gas atau makanan sepanjang
intestinum dan suara pembuluh darah. Teknik ini juga digunakan untuk mendeteksi
fungsi pencernaan pasien setelah menjalani operasi. Pada keadaan tertentu, suara yang
didengar melalui auskultasi mungkin melemah. Auskultasi juga dapat dilakukan
untuk mendengarkan denyut jantung janin pada wanita hamil.
Cara
kerja auskultasi
1)
Siapkan stetoskop, hangatkan tangan dan bagian diafragma stetoskop bila ruang
pemeriksaan dingin.
2)
Tanya pasien tentang waktu terakhir makan. Bising usus dapat meningkat setelah
makan.
3) Tentukan bagian stetoskop yang akan digunakan. Bagian diafragma digunakan untuk mendengarkan bising usus, sedangkan bagian bel (sungkup) untuk mmendengarkan suara pembuluh darah.
3) Tentukan bagian stetoskop yang akan digunakan. Bagian diafragma digunakan untuk mendengarkan bising usus, sedangkan bagian bel (sungkup) untuk mmendengarkan suara pembuluh darah.
4)
Letakkan diafragma stetoskop dengan tekanan ringan pada setiap area empat
kuadran abdomen dan dengarkan suara peristaltic aktif dan suara denguk
(gurgling) yang secara normal terdengar setiap 5 – 20 detik dengan durasi
kurang atau lebih dari satu detik. Frekuensi suara bergantung pada
status pencernaan atau ada tidaknya makanan dalam saluran pencernaan. Dalam
pelaporannya, bising usus dapat dinyatakan dengan “terdengar, tidak ada /
hipoaktif, sangat lambat” (mis, hanya terdengar sekali per menit) dan
“hiperaktif atau meningkat” (mis, terdengar setiap 3 detik). Bila bising usus
terdengar jarang sekali / tidak ada, dengarkan dahulu selama 3 – 5 menit
sebelum dipastikan.
5)
Letakkan bagian bel (sungkup) stetoskop di atas aorta, arteri renalis, dan
arteri iliaka. Dengarkan suara – suara arteri (bruit). Auskultasi aorta
dilakukan dari arah superior ke umbilicus. Auskultasi arteri renalis dilakukan
dengan cara meletakan stetoskop pada garis tengah abdomen atau kea rah kanan
kiri garis abdomen bagian atas mendekati panggul. Auskultasi arteri iliaka
dilakukan dengan cara meletakkan stetoskop pada area bawah umbilicus di sebelah
kanan dan kiri garis tengah abdomen.
6)
Letakkan bagian bel stetoskop di atas area preumbilikal (sekeliling umbilicus)
untuk mendengarkan bising vena (jarang terdengar).
7)
Dalam melakukan auskultasi pada setiap tempat, khususnya area hepar dan limpa,
kaji pula kemungkinan terdengar suara – suara gesekan seperti suara gesekan dua
benda.
8)
Untuk mengkaji suara gesekan pada area limpa, letakkan stetoskop pada area
batas bawah tulang rusuk di garis aksila anterior dan minta pasien menarik
napas dalam. Untuk mengkaji suara gesekan pada area hepar, letakkan stetoskop
pada sisi bawah kanan tulang rusuk.
c)
Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mendengarkan / mendeteksi adanya
gas, cairan, atau massa di dalam abdomen. Perkusi juga dilakukan untuk
mengetahui posisi limpa dan hepar. Bunyi perkusi pada abdomen yang normal
adalah timpani, namun bunyi ini dapat berubah pada keadaan – keadaan tertentu.
Misalnya, apabila hepar dan limpa membesar, bunyi perkusi akan menjadi redup,
khususnya perkusi di area bawwah arkus kostalis kanan dan kiri. Apabila
terdapat udara bebas pada rongga abdomen, daerah pekak pada hepar akan hilang.
Pada keadaan usu berisi terlalu banyak cairan, bunyi yang dihasilkan pada
perkusi seluruh dinding abdomen adalah hipertimpani, sedangkan daerah hepar
tetap pekak. Perkusi pada daerah yang berisi cairan juga akan menghasilkan
suara pekak. Latihan perkusi abdomen bagi mahasiswa keperawatan harus dibimbing
oleh instruktur yang berpengalaman dan menguasai pengkajian abdomen.
Cara
perkusi abdomen secara sistematis
1)
Perkusi dimulai dari kuadran kanan atas kemudian bergerak searah jarum jam
(dari sudut pandang / perspektif pasien).
2)
Perhatikan reaksi pasien dan catat bila pasien merasa nyeri atau nyeri tekan.
3)
Lakukan perkusi pada area timpani dan redup. Suara timpani mempunyai cirri nada
lebih tinggi daripada resonan. Suara timpani dapat didengarkan pada rongga atau
organ yang berisi udara. Suara redup mempunyai cirri nada lebih rendah atau
lebih datar daripada resonan. Suara ini dapat didengarkan pada massa padat,
misalnya keadaan asites, keadaan distensi kandung kemih, serta pembesaran atau
tumor hepar dan limpa.
d)
Palpasi
Palpasi
Hepar
Palpasi
hepar dapat dilakukan secara bimanual, terutama untuk mengetahui adanya
pembesaran.
Cara Palpasi Hepar :
Cara Palpasi Hepar :
1)
Berdiri di samping kanan pasien.
2)
Letakkan tangan kiri Anda pada dinding toraks posterior kira – kira pada tulang
rusuk ke-11 atau 12.
3)
Tekan tangan kiri Anda ke atas sehingga sedikit mengangkat dinding dada.
4)
Letakkan tangan kanan pada batas bawah tulang rusuk sisi kanan dengan membentuk
sudut kira – kira 45o dari otot rektus abdominis atau parallel terhadap otot
rektus abdominis dengan jari – jari kea rah tulang rusuk.
5)
Sementara pasien ekshalasi, lakukan penekanan sedalam 4 – 5 cm kea rah bawah
pada batas tulang rusuk.
6)
Jaga posisi tangan Anda dan minta pasien inhalasi / menarik napas dalam.
7)
Sementara pasien inhalasi, rasakan batas hepar bergerak menentang tangan Anda
yang secara normal terasa dengan kontur reguler. Bila hepar tidak terasa
/teraba dengan jelas, minta pasien untuk menarik napas dalam, sementara Anda
tetap mempertahankan posisi tangan atau memberikan tekanan sedikit lebih dalam.
Kesulitan dalam merasakan hepar ini sering dialami pada pasien obesitas.
8)
Bila hepar membesar, lakukan palpasi di batas bawah tulang rusuk kanan. Catat
pembesaran tersebut dan nyatakan dengan berapa sentimeter pembesaran terjadi di
bawah batas tulang rusuk.
Palpasi
hepar (Sumber : Kozier, B., et al. (2004) Fundamental of Nursing: Concept,
process, and practice. New Jersey : Prentice Hall).
Palpasi
Ginjal
Pada
saat melakukan palpasi ginjal, posisi pasien telentang dan perawat yang
melakukan palpasi berdiri di sisi kanan pasien.
Cara
Palpasi Ginjal
1)
Dalam melakukan palpasi ginjal kanan, letakkan tangan kiri Anda di bawah
panggul dan elevasikan ginjal ke arah anterior.
2)
Letakkan tangan kanan Anda pada dinding abdomen anterior di garis midklavikula
pada tepi bawah batas kosta.
3)
Tekan tangan kanan Anda secara langsung ke atas sementara pasien menarik napas
panjang. Ginjal tidak teraba pada orang dewasa yang normal, tetapi pada orang
yang sangat kurus, bagian bawah ginjal kanan dapat dirasakan.
4) Bila ginjal teraba, rasakan kontur (bentuk), ukuran, dan amati adanya nyeri tekan.
5) Untuk melakukan palpasi ginjal kiri, lakukan di sisi kiri tubuh pasien, dan letakkan tangan Anda di bawah panggul kemudian lakukan tindakan seperti pada palpasi ginjal kanan.
Palpasi
Limpa
Limpa
tidak teraba pada orang dewasa yang normal. Palpasi limpa dikerjakan dengan
menggunakan pola seperti pada palpasi hepar.
Cara
Palpasi Limpa :
1)
Anjurkan pasien untuk miring ke sisi kanan sehingga limpa lebih dekat dengan
dinding abdomen.
2) Lakukan palpasi pada batas bawah tulang rusuk kiri dengan menggunakan pola seperti pada palpasi hepar.
2) Lakukan palpasi pada batas bawah tulang rusuk kiri dengan menggunakan pola seperti pada palpasi hepar.
Palpasi
limpa (Sumber : Bickley, L. S., & Szilagyi, P.G. (2004). Bate’s Pocket
Guide Physical Examination and History Taking. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins).
Palpasi
Kandung Kemih
Palpasi
kandung kemih dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau dua tangan. Kandung
kemih teraba terutama bila mengalami distensi akibat penimbunan urine. Bila
ditemukan adanya distensi, lakukan perkusi pada area kandung kemih untuk
mengetahui suara / tingakatan redupnya.
8.
Pemeriksaan fisik genital.
a)
Pemeriksaan Fisik Alat Kelamin Pria
1)
Inspeksi
1.
Pertama – tama inspeksi rambut pubis, perhatikan penyebaran dan pola
pertumbuhan rambut pubis. Catat bila rambut pubis tumbuh sangat sedikit atau
sama sekali tidak ada.
2. Inspeksi kulit, ukuran, dan adanya kelainan lain yang tampak pada penis.
2. Inspeksi kulit, ukuran, dan adanya kelainan lain yang tampak pada penis.
3.
Pada pria yang tidak dikhitan, pegang
penis dan buka kulup penis, amati lubang uretra dan kepala penis untuk
mengetahui adanya ulkus, jaringan parut, benjolan, peradangan, dan rabas (bila
pasien malu, penis dapat dibuka oleh pasien sendiri). Lubang uretra normalnya
terletak di tengah kepala penis. Pada beberapa kelainan, lubang uretra ada yang
terletak di bawah batang penis (hipospadia) dan ada yang terletak di atas
batang penis (epispadia).
4. Inspeksi skrotum dan perhatikan bila ada tanda kemerahan, bengkak, ulkus, ekskoriasi, atau nodular. Angkat skrotum dan amati area di belakang skrotum.
4. Inspeksi skrotum dan perhatikan bila ada tanda kemerahan, bengkak, ulkus, ekskoriasi, atau nodular. Angkat skrotum dan amati area di belakang skrotum.
2) Palpasi
Teknik
ini dilakukan hanya bila ada indikasi atau keluhan.
1.
Lakukan palpasi penis untuk mengetahui adanya nyeri tekan, benjolan, dan
kemungkinan adanya cairan kental yang keluar.
2.
Palpasi skrotum dan testis dengan menggunakan jempol dan tiga jari pertama.
Palpasi tiap testis dan perhatikan ukuran, konsistensi, bentuk, dan
kelicinannya. Testis normalnya teraba elastic, licin, tidak ada benjolan atau massa,
dan berukuran sekitar 2 – 4 cm.
3.
Palpasi epididimis yang memanjang dari puncak testis ke belakang. Normalnya
epidiimis teraba lunak.
4.
Palpasi saluran sperma dengan jempol dan jari telunjuk. Saluran sperma biasanya
ditemukan pada puncak bagian lateral skrotum dan teraba lebih keras daripada
epididimis.
b)
Pemeriksaan Fisik Alat Kelamin Wanita
1)
Palpasi alat kelamin bagian luar
a.
Mulai dengan mengamati rambut pubis, perhatikan distribusi dan jumlahnya, dan
bandingkan sesuai usia perkembangan pasien.
b.
Amati kulit dan area pubis, perhatikan adanya lesi, eritema, fisura,
leukoplakia, dan ekskoriasi.
c. Buka labia mayora dan amati bagian dalam labia mayora, labia minora, klitoris, dan meatus uretra. Perhatikan setiap ada pembengkakan, ulkus, rabas, atau nodular.
c. Buka labia mayora dan amati bagian dalam labia mayora, labia minora, klitoris, dan meatus uretra. Perhatikan setiap ada pembengkakan, ulkus, rabas, atau nodular.
2)
Palpasi alat kelamin bagian dalam
a.
Lumasi jari telunjuk Anda dengan air steril, masukkan ke dalam vagina, dan
identifikasi kelunakan serta permukaan serviks. Tindakan ini bermanfaat untuk
mempergunakan dan memilih speculum yang tepat. Keluarkan jari bila sudah
selesai.
b. Letakkan dua jari pada pintu vagina
dan tekankan ke bawah kea rah perianal.
c.
Masukkan speculum dengan sudut 45o.
d.
Buka bilah speculum, letakkan pada serviks, dan kunci bilah sehingga tetap
membuka.
e.
Bila serviks sudah terlihat, atur lampu untuk memperjelas penglihatan dan amati
ukuran, laserasi, erosi, nodular, massa, rabas, dan warna serviks. Normalnya
bentuk serviks melingkar atau oval pada nulipara, sedangkan pada para berbentuk
celah.
f.
Lakukan palpasi secara bimanual. Pakai sarung tangan lalu lumasi jari telunjuk
dan jari tengah, kemudian masukkan jari tersebut ke lubang vagina dengan
penekanan ke arah posterior, dan meraba dinding vagina untuk mengetahui adanya
nyeri tekan dan nodular.
g.
Palpasi serviks dengan dua jari Anda dan perhatikan posisi, ukuran,
konsistensi, regularitas, mobilitas, dan nyeri tekan. Normalnya serviks dapat
digerakkan tanpa terasa nyeri.
h.
Palpasi uterus dengan cara jari – jari tangan yang ada dalam vagina mengahadap
ke atas. Tangan yang ada di luar letakkan di abdomen dan tekankan ke bawah.
Palpasi uterus untuk mengetahui ukuran, bentuk, konsistensi, dan mobilitasnya.
i.
Palpasi ovarium dengan cara menggeser dua jari yang ada dalam vagina ke formiks
lateral kanan. Tangan yang ada di abdomen tekankan ke bawah kea rah kuadran
kanan bawah. Palpasi ovarium kanan untuk mengetahui ukuran, mobilitas, bentuk,
konsistensi, dan nyeri tekan (normalnya tidak teraba). Ulangi untuk ovarium
sebelahnya.
8.
Pemeriksaan fisik payudara dan ketiak.
Dalam melakukan pemeriksaan payudara khususnya pada wanita,
perawat harus mempertimbangkan aspek psikososial, bukan aspek fisik saja. Hal
ini mengingat payudara pada wanita mempunyai arti yang luas, baik dari segi
budaya, social, maupun fungsi seksual. Payudara berkembang dan tumbuh selama
rentang kehidupan yang dipengaruhi oleh perkembangan / pertumbuhan seseorang,
lingkungan, dan sosiokultural lainnya.
a) Inspeksi
1)
Bantu pasien mengatur posisi duduk menghadap ke depan, telanjang dada dengan
kedua lengan rileks di sisi tubuh.
2)
Mulai inspeksi ukuran, bentuk, dan kesimetrisan payudara. Payudara normalnya
melingkar, agak simetris, dan dapat dideskripsikan kecil, sedang, dan besar.
3)
Inspeksi warna, lesi, vaskularisasi, dan edema pada kulit payudara.
4)
Inspeksi waran areola. Areola wanita hamil umumnya berwarna lebih gelap.
5)
Inspeksi adanya penonjolan atau retraksi pada payudara dan putting susu akibat
adanya skar atau lesi.
6)
Inspeksi adanya rabas, ulkus, pergerakan, atau pembengkakan pada putting susu.
Amati juga posisi kedua putting susu yang normalnya mempunyai arah yang sama.
7)
Inspeksi ketiak dan klavikula untuk mengetahui adanya pembengkakan atau tanda
kemerah – merahan.
b)
Palpasi
1)
Lakukan palpasi di sekeliling putting susu untuk mengetahuii adanya rabas. Bila
ditemukan rabas, identifikasi sumber, jumlah, warna, konsistensi rabas
tersebut, dan kaji adanya nyeri tekan.
2)
Palpasi daerah klavikula dan ketiak terutama pada area nodus limfe.
3)
Lakukan palpasi setiap payudara dengan teknik bimanual terutama untuk peyudara
yang berukuran besar. Caranya yaitu tekankan telapak tangan anda / tiga jari
tengah ke permukaan payudara pada kuadran samping atas. Lakukan palpasi dinding
dada dengan gerakan memutar dari tepi menuju ereola dan searah jarum jam.
4)
Lakukan palpasi payudara sebelahnya.
5)
Bila diperlukan, lakukan pula pengkajian dengan posisi pasien telanjang dan
diganjal bantal / selimut di bawah bahunya.
2.6 Pemeriksaan fisik per sistem.
1.
SISTEM CARDIOVASKULER
INSPEKSI
Jantung, secara topografik jantung berada di bagian depan rongga mediastinum.
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita. Pulsasi ini letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2 cm, dengan punctum maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya pembesaran ventrikel kiri.
Jantung, secara topografik jantung berada di bagian depan rongga mediastinum.
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita. Pulsasi ini letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-kira 2 cm, dengan punctum maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya pembesaran ventrikel kiri.
PALPASI
Denyut apeks jantung (iktus kordis) Dalam keadaaan normal, dengan sikap duduk, tidur terlentang atau berdiri iktus terlihat didalam ruangan interkostal V sisi kiri agak medial dari linea midclavicularis sinistra. Pada anak-anak iktus tampak pada ruang interkostal IV.
Denyutan nadi pada dada
Apabila
di dada bagian atas terdapat denyutan maka harus curiga adanya kelainan pada
aorta.
Aneurisma aorta ascenden dapat menimbulkan denyutan di ruang interkostal II kanan, sedangkan denyutan dada di daerah ruang interkostal II kiri menunjukkan adanya dilatasi a. pulmonalis dan aneurisma aorta descenden.
Aneurisma aorta ascenden dapat menimbulkan denyutan di ruang interkostal II kanan, sedangkan denyutan dada di daerah ruang interkostal II kiri menunjukkan adanya dilatasi a. pulmonalis dan aneurisma aorta descenden.
Getaran/Trhill
Adanya getaran seringkali menunjukkan adanya kelainan katup bawaan atau penyakit jantung congenital. Getaran yang lemah akan lebih mudah dipalpasi apabila orang tersebut melakukan pekerjaan fisik karena frekuensi jantung dan darah akan mengalir lebih cepat. Dengan terabanya getaran maka pada auskultasi nantinya akan terdengar bising jantung.
Adanya getaran seringkali menunjukkan adanya kelainan katup bawaan atau penyakit jantung congenital. Getaran yang lemah akan lebih mudah dipalpasi apabila orang tersebut melakukan pekerjaan fisik karena frekuensi jantung dan darah akan mengalir lebih cepat. Dengan terabanya getaran maka pada auskultasi nantinya akan terdengar bising jantung.
PERKUSI
Kita melakukan perkusi untuk menetapkan batas-batas jantung.
Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam penyakit jantung yaitu efusi
pericardium dan aneurisma aorta.
Kita melakukan perkusi untuk menetapkan batas-batas jantung.
Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam penyakit jantung yaitu efusi
pericardium dan aneurisma aorta.
Batas kiri jantung
•
Kita melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
•
Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup relatif kita tetapkan
sebagai batas jantung kiri.
•
Normal : Atas : ICS II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang jantung) Bawah: ICS V kiri agak ke medial
linea midklavikularis kiri (tempat iktus)
Batas Kanan Jantung
•
Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial.
•
Disini agak sulit menentukan batas jantung karena letaknya agak jauh dari
dinding depan thorak
• Normal : Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang interkostal III-IV kanan, di linea parasternalis kanan. Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II kanan linea
parasternalis kanan.
• Normal : Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang interkostal III-IV kanan, di linea parasternalis kanan. Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II kanan linea
parasternalis kanan.
AUSKULTASI
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut :
Dengarkan
BJ I pada :
•
ICS IV line sternalis kiri (BJ I Tricuspidalis)
•
ICS V line midclavicula/ICS III linea sternalis kanan (BJ I Mitral)
Dengarkan
BJ II pada :
•
ICS II lines sternalis kanan (BJ II Aorta)
•
ICS II linea sternalis kiri/ICS III linea sternalis kanan (BJ II Pulmonal)
Dengarkan
BJ III (kalau ada)
•
Terdengar di daerah mitral
•
BJ III terdengar setelah BJ II dengan jarak cukup jauh, tetapi tidak melebihi
separo dari fase diastolik, nada rendah
•
Pada anak-anak dan dewasa muda, BJ III adalah normal
•
Pada orang dewasa/tua yang disertai tanda-tanda oedema/dipneu, BJ III merupakan
tanda abnormal.
• BJ III pada decomp. disebut Gallop Rythm.
• BJ III pada decomp. disebut Gallop Rythm.
Dari
jantung yang normal dapat didengar lub-dub, lub-dub, lub-dub. Lub adalah suara
penutupan katup mitral dan katup trikuspid, yang menandai awalsistole. Dub
adalah suara katup aorta dan katup pulmonalis sebagai tanda awal diastole. Pada
suara dub, apabila pasien bernafas akan terdengar suara yang terpecah.
2. SISTEM PENCERNAAN
INSPEKSI
a.
Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan di sisi tubuh.
b.
Inspeksi cavum oris, lidah untuk melihat ada tidaknya kelainan.
c.
Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang kepala untuk
melemaskan/relaksasi otot- otot abdomen.
d.
Perhatikan ada tidaknya penegangan abdomen.
e.
Pemeriksa berdirilah pada sisi kanan pasien dan perhatikan kulit dan warna
abdomen, bentuk perut, simetrisitas, jaringan parut, luka, pola vena, dan
striae serta bayangan vena dan pergerakkan abnormal.
f.
Perhatikan posisi, bentuk, warna, dan inflamasi dari umbilikus.
g.
Perhatikan pula gerakan permukaan, massa, pembesaran atau penegangan. Bila
abdomen tampak menegang, minta pasien untuk berbalik kesamping dan inspeksi
mengenai ada tidaknya pembesaran area antara iga-iga dan panggul, tanyakan
kepada pasien apakah abdomen terasa lebih tegang dari biasanya.
h.
Bila terjadi penegangan abdomen, ukur lingkar abdomen dengan memasang tali/
perban seputar abdomen melalui umbilikus. Buatlah simpul dikedua sisi tali/
perban untuk menandai dimana batas lingkar abdomen, lakukan monitoring, bila
terjadi peningkatan perenggangan abdomen, maka jarak kedua simpul makin
menjauh.
i.
Inspeksi abdomen untuk gerakan pernapasan yang normal.
j.
Mintalah pasien mengangkat kepalanya dan perhatikan adanya gerakan peristaltik
atau denyutan aortik.
PALPASI
Abdomen
a. Posisi pasien berbaring terlentang dan pemeriksa disebelah kanannya.
b.
Lakukan palpasi ringan di tiap kuadran abdomen dan hindari area yang telah
diketahui sebelumnya sebagai titik bermasalah, seperti apendisitis.
c.
Tempatkan tangan pemeriksa diatas abdomen secara datar, dengan jari- jari
ekstensi dan berhimpitan serta pertahankan sejajar permukaan abdomen.
d.
Palpasi dimulai perlahan dan hati-hati dari superfisial sedalam 1 cm untuk
mendeteksi area nyeri, penegangan abnormal atau adanya massa.
e.
Bila otot sudah lemas dapat dilakukan palpasi sedalam 2,5 – 7,5 cm, untuk
mengetahui keadaaan organ dan mendeteksi adanya massa yang kurang jelas teraba
selama palpasi
f.
Perhatikan karakteristik dari setiap massa pada lokasi yang dalam, meliputi
ukuran, lokasi, bentuk, konsistensi, nyeri, denyutan dan gerakan
g.
Perhatikan wajah pasien selama palpasi untuk melihat adanya tanda/ rasa tidak
nyaman.
h.
Bila ditemukan rasa nyeri, uji akan adanya nyeri lepas, tekan dalam kemudian
lepas dengan cepat untuk mendeteksi apakah nyeri timbul dengan melepaskan
tekanan.
i.
Minta pasien mengangkat kepala dari meja periksa untuk melihat kontraksi
otot-otot abdominal
Hepar
a. Posisi pasien tidur terlentang.
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
c.
Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah torak/ dada kanan posterior pasien pada
iga kesebelas dan keduabelas dan tekananlah kearah atas.
d.
Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari mengarah ke kepala /
superior pasien dan ekstensikan sehingga ujung-ujung jari terletak di garis
klavikular di bawah batas bawah hati.
e.
Kemudian tekanlah dengan lembut ke dalam dan ke atas.
f.
Minta pasien menarik napas dan cobalah meraba tepi hati saat abdomen mengempis.
Kandung
Empedu
a.
Posisi pasien tidur terlentang.
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
c.
Letakkan telapak tangan kiri pemeriksa dibawah dada kanan posterior pasien pada
iga XI dan XII dan tekananlah kearah atas.
d.
Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari mengarah ke kepala /
superior pasien dan ekstensikan sehingga ujung-ujung jari terletak di garis
klavikular di bawah batas bawah hati.
e.
Kemudian tekan lembut ke dalam dan ke atas.
f.
Mintalah pasien menarik napas dan coba meraba tepi hati saat abdomen mengempis.
g.
Palpasi di bawah tepi hati pada sisi lateral dari otot rektus.
h.
Bila diduga ada penyakit kandung empedu, minta pasien untuk menarik napas dalam
selama palpasi.
Limpa
a. Posisi pasien tidur terlentang
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien
c.
Letakkan secara menyilang telapak tangan kiri pemeriksa di bawah pinggang kiri
pasien dan tekanlah keatas.
d.
Letakkan telapak tangan kanan dengan jari-jari ektensi diatas abdomen dibawah
tepi kiri kostal.
e.
Tekanlah ujung jari kearah limpa kemudian minta pasien untuk menarik napas dalam.
f.
Palpasilah tepi limpa saat limpa bergerak ke bawah kearah tangan pemeriksa
g.
Apabila dalam posisi terlentang tidak bisa diraba, maka posisi pasien berbaring
miring kekanan dengan kedua tungkai bawah difleksikan.
h.
Pada keadaan tertentu diperlukan Schuffner test
Aorta
a.
Posisi pasien tidur terlentang
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien
c.
Pergunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan.
d.
Palpasilah dengan perlahan namun dalam ke arah abdomen bagian atas tepat garis
tengah.
Pemeriksaan
Asites
a.
Posisi pasien tidur terlentang.
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
c.
Prosedur ini memerlukan tiga tangan.
d.
Minta pasien atau asisten untuk menekan perut pasien dengan sisi ulnar tangan
dan lengan atas tepat disepanjang garis tengah dengan arah vertikal.
e.
Letakkan tangan pemeriksa dikedua sisi abdomen dan ketuklah dengan tajam salah
satu sisi dengan ujung- ujung jari pemeriksa.
f.
Rasakan impuls / getaran gelombang cairan dengan ujung jari tangan yang satunya
atau bisa juga menggunakan sisi ulnar dari tangan untuk merasakan getaran
gelombang cairan.
Colok Dubur
Pemeriksaan
abdomen dapat diakhiri dengan colok dubur (sifatnya kurang menyenangkan
sehingga ditaruh paling akhir). Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dalam
posisi miring (symposisi), lithotomi, maupun knee-chest. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan satu tangan maupun dua tangan (bimanual, satu tangannya di
atas pelvis). Colok dubur perlu hati-hati karena sifat anus yang sensitif,
mudah kontraksi. Oleh karena itu colok dubur dilakukan serileks mungkin
menggunakan lubrikasi. Sebaiknya penderita kencing terlebih dahulu. Pada posisi
lithotomi diagnosis letak kelainan menggunakan posisi jam yakni jam 3 sebelah
kanan, jam 9 sebelah kiri, jam 6 ke arah sacrum dan jam 12 ke arah pubis.
AUSKULTASI
a. Pasien berbaring terlentang dengan tangan dikedua sisi.
b.
Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang kepala.
c.
Letakkan kepala stetoskop sisi diafragma di daerah kuadran kiri bawah. Berikan
tekanan ringan, minta pasien agar tidak berbicara. Bila mungkin diperlukan 5
menit terus menerus untuk mendengar sebelum pemeriksaan menentukan tidak adanya
bising usus.
d.
Dengarkan bising usus apakah normal, hiperaktif, hipoaktif, tidak ada bising
usus dan perhatikan frekwensi/karakternya.
e.
Bila bising usus tidak mudah terdengar, lanjutkan pemeriksaan dengan sistematis
dan dengarkan tiap kuadran abdomen.
f.
Kemudian gunakan sisi bel stetoskop, untuk mendengarkan bunyi desiran dibagian
epigastrik dan pada tiap kuadran diatas arteri aortik, ginjal, iliaka, femoral
dan aorta torakal. Pada orang kurus mungkin dapat terlihat gerakan peristaltik
usus atau denyutan aorta.
PERKUSI
Abdomen
Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara yang timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-batas dari organ dibawah kulit. Organ berongga seperti lambung, usus, kandung kemih berbunyi timpani, sedangkan bunyi pekak terdapat pada hati, limfa, pankreas, ginjal.
Perkusi Batas Hati
a.
Posisi pasien tidur terlentang dan pemeriksa berdirilah disisi kanan pasien.
b.
Lakukan perkusi pada garis midklavikular kanan setinggi umbilikus, geser
perlahan keatas, sampai terjadi perubahan suara dari timpani menjadi pekak,
tandai batas bawah hati tersebut.
c.
Ukur jarak antara subcostae kanan kebatas bawah hati.
d.
Batas hati bagian bawah berada ditepi batas bawah tulang iga kanan.
e.
Batas hati bagian atas terletak antara celah tulang iga ke5 sampai kecelah
tulang iga ke7.
f.
Jarak batas atas dengan bawah hati berkisar 6 – 12 cm dan pergerakan bagian
bawah hati pada waktu bernapas yaitu berkisar 2 – 3 cm.
Perkusi Lambung
a.
Posisi pasien tidur terlentang.
b.
Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
c.
Lakukan perkusi pada tulang iga bagian bawah anterior dan bagian epigastrium
kiri.
d.
Gelembung udara lambung bila di perkusi akan berbunyi timpani
3. PENGKAJIAN SISTEM PERNAFASAN
a.
Inspeksi
1)
Pemeriksaan dada dimulai dari thorax posterior, klien pada posisi duduk.
2)
Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya.
3)
Inspeksi thorax poterior terhadap warna kulit dan kondisinya, lesi, massa,
gangguan tulang belakang seperti : kyphosis, scoliosis dan lordosis, jumlah
irama, kedalaman pernafasan, dan kesimetrisan pergerakan dada.
4)
Observasi type pernafasan, seperti : pernafasan hidung atau pernafasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
5)
Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase
ekspirasi (E). ratio pada fase ini normalnya 1 : 2. Fase ekspirasi yang
memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan nafas dan sering ditemukan
pada klien Chronic Airflow Limitation (CAL)/COPD.
6)
Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior (AP) dengan
diameter lateral/tranversal (T). ratio ini normalnya berkisar 1:2 sampai 5:7,
tergantung dari cairan tubuh klien.
7)
Kelainan pada bentuk dada :
a.
Barrel Chest, Timbul akibat terjadinya overinflation paru. Terjadi peningkatan
diameter AP : T (1:1), sering terjadi pada klien emfisema.
b.
Funnel Chest (Pectus Excavatum), Timbul jika terjadi depresi dari bagian bawah
dari sternum. Hal ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar, yang
mengakibatkan murmur. Kondisi ini dapat timbul pada ricketsia, marfan’s
syndrome atau akibat kecelakaan kerja.
c.
Pigeon Chest (Pectus Carinatum), Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan
sternum, dimana terjadi peningkatan diameter AP. Timbul pada klien dengan
kyphoscoliosis berat.
d.
Kyphoscoliosis, Terlihat dengan adanya elevasi scapula. Deformitas ini akan
mengganggu pergerakan paru-paru, dapat timbul pada klien dengan osteoporosis
dan kelainan muskuloskeletal lain yang mempengaruhi thorax.
e. Kiposis ,meningkatnya kelengkungan normal kolumna vertebrae torakalis menyebabkan klien tampak bongkok.
f.
Skoliosis : melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral, disertai rotasi
vertebral.
8)
Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak
adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
9)
Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
b. Palpasi
1)
Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan mengobservasi
abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit dan mengetahui vocal premitus
(vibrasi).
2) Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
2) Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
3)
Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh nyeri.
4)
Vocal premitus : getaran dinding dada yang dihasilkan ketika berbicara.
c. Perkusi
1)
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner, organ yang ada
disekitarnya dan pengembangan (ekskursi) diafragma.
2)
Jenis suara perkusi :
Suara
perkusi normal resonan (sonor) : dihasilkan untuk mengetahui batas antara
bagian jantung dan paru.
d. Auskultasi
1.
Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup mendengarkan suara nafas
normal, suara tambahan (abnormal), dan suara.
2.
Suara nafas normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan nafas
dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
3. Suara nafas normal :
a)
Bronchial : Normal terdengar di atas trachea atau daerah suprasternal notch.
Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada henti
diantara kedua fase tersebut.
b)
Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih
panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan.
c)
Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas bronchial dan vesikular.
Suaranya terdengar nyaring dan dengan intensitas yang sedang. Inspirasi sama
panjang dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah thoraks dimana bronchi
tertutup oleh dinding dada.
4.
SISTEM MUSKULOSKELETAL
a.
Inspeksi
1)
Pada saat inspeksi tulang belakang, buka baju pasien untuk menampakkan seluruh
tubuh.
2)
Inspeksi ukuran otot, bandingkan satu sisi dengan sisi yang lain dan amati
adanya atrofi atau hipertrofi. Kelurusan tulang belakang, diperiksa dengan
pasien berdiri tegak dan membungkuk ke depan.
3)
Jika didapatkan adanya perbedaan antara kedua sisi, ukur keduanya dengan
menggunakan meteran.
4) Amati adanya otot dan tendo untuk mengetahui kemungkinan kontraktur yang ditunjukkan oleh malposisi suatu bagian tubuh.
4) Amati adanya otot dan tendo untuk mengetahui kemungkinan kontraktur yang ditunjukkan oleh malposisi suatu bagian tubuh.
5)
Amati kenormalan susunan tulang dan adanya deformitas.
6)
Skoliosis ditandai dengan kulvatura lateral abnormal tulang belakang, bahu yang
tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetris, dan skapula yang
menonjol, akan lebih jelas dengan uji membungkuk ke depan.
7)
Amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya pembengkakan persendian.
8)
Inspeksi persendian untuk mengetahui adanya kelainan persendian.
9)
Inspeksi pergerakkan persendian.
b. Palpasi
1)
Palpasi pada saat otot istirahat dan pada saat otot bergerak secara aktif dan
pasif untuk mengetahui adanya kelemahan (flasiditas), kontraksi tiba-tiba
secara involunter (spastisitas)
2)
Uji kekuatan otot dengan cara menyuruh klien menarik atau mendorong tangan
pemeriksa, bandingkan kekuatan otot ekstremitas kanan dengan ekstremitas kiri.
3)
Palpasi untuk mengetahui adanya edema atau nyeri tekan.
4)
Palpasi sendi sementara sendi digerakkan secara pasif akan memberikan informasi
mengenai integritas sendi. Normalnya, sendi bergerak secara halus. Suara
gemletuk dapat menunjukkan adanya ligament yang tergelincir di antara tonjolan
tulang. Permukaan yang kurang rata, seprti pada keadaan arthritis,
mengakibatkan adanya krepitus karena permukaan yang tidak rata tersebut yang
saling bergeseran satu sama lain.
5)
Periksa adanya benjolan, rheumatoid arthritis, gout, dan osteoarthritis
menimbulkan benjolan yang khas. Benjolan dibawah kulit pada rheumatoid
arthritis lunak dan terdapat di dalam dan sepanjang tendon yang memberikan
fungsi ekstensi pada sendi biasanya, keterlibatan sendi mempunya pola yang
simetris. Benjolan pada GOUT keras dan terletak dalam dan tepat disebelah
kapsul sendi itu sendiri.
6) Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0
= Tidak ada kontraksi sama sekali.
1
= Gerakan kontraksi.
2
= Kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau gravitasi.
3
= Cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4
= Cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5
= Kekuatan kontraksi yang penuh.
c. Perkusi
1)
Refleks patela, Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae)
dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
2) Refleks biceps, lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90º, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3) Refleks triceps, lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 90º, tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
2) Refleks biceps, lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90º, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3) Refleks triceps, lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 90º, tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4) Refleks achilles, posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
5) Refleks abdominal, dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.
6) Refleks Babinski, merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
5.
SISTEM ENDOKRIN
Inspeksi
a. (warna kulit) : Hiperpigmentasi ditemukan pada klien addison desease atau cushing syndrom. Hipopigmentasi terlihat pada klien diabetes mellitus, hipertiroidisme, hipotiroidisme.
b. Wajah : Variasi, bentuk dan struktur muka mungkin dapat diindikasikan dengan penyakit akromegali mata.
a. (warna kulit) : Hiperpigmentasi ditemukan pada klien addison desease atau cushing syndrom. Hipopigmentasi terlihat pada klien diabetes mellitus, hipertiroidisme, hipotiroidisme.
b. Wajah : Variasi, bentuk dan struktur muka mungkin dapat diindikasikan dengan penyakit akromegali mata.
c.
Kuku dan rambut : Peningkatan pigmentasi pada kuku diperlihatkan oleh klien
dengan penyakit addison desease, kering, tebal dan rapuh terdapat pada penyakit
hipotiroidisme, rambut lembut hipertyroidisme. Hirsutisme terdapat pada
penyakit cushing syndrom.
d. Inspeksi ukuran dan proporsional struktur tubuh klien : Orang jangkung, yang disebabkan karena insufisiensi growth hormon. Tulang yang sangat besar, bisa merupakan indikasi akromegali.
e. Tanda trousseaus dan tanda chvoteks : Peningkatan kadar kalsium tangan dan jari-jari klien kontraksi (spasme karpal).
d. Inspeksi ukuran dan proporsional struktur tubuh klien : Orang jangkung, yang disebabkan karena insufisiensi growth hormon. Tulang yang sangat besar, bisa merupakan indikasi akromegali.
e. Tanda trousseaus dan tanda chvoteks : Peningkatan kadar kalsium tangan dan jari-jari klien kontraksi (spasme karpal).
Palpasi
a. Kulit kasar, kering ditemukan pada klien dengan hipotiroidisme. Dimana kelembutan dan bilasan kulit bisa menjadi tanda pada klien dengan hipertiroidisme. Lesi pada ekstremitas bawah mengindikasikan DM.
b.
Palpasi kelenjar tiroid (tempatkan kedua tangan anda pada sisi lain pada
trachea dibawah kartilago thyroid. Minta klien untuk miringkan kepala ke kanan
Minta klien untuk menelan. Setelah klien menelan. pindahkan pada sebelah kiri.
selama palpasi pada dada kiri bawah) : Tidak membesar pada klien dengan
penyakit graves atau goiter.
Auskultasi
Auskultasi pada daerah leher diata tiroid dapat mengidentifikasi bunyi “bruit“. Bunyi yg dihasilkan oleh karena turbulensi pada pembuluh darah tiroidea. Normalnya tidak ada bunyi.
6. SISTEM INTEGUMEN
Inspeksi
a. Kaji integritas kulit warna flushing, cyanosis, jaundice, pigmentasi yang tidak teratur
a. Kaji integritas kulit warna flushing, cyanosis, jaundice, pigmentasi yang tidak teratur
b.
Kaji membrane mukosa, turgor, dan keadaan umum, kulit
c.
Kaji bentuk, integritas, warna kuku.
d.
Kaji adanya luka, bekas operasi/skar, drain, dekubitus.
Palpasi
a. Adanya nyeri, edema, dan penurunan suhu.
b.
Tekstur kulit.
c.
Turgor kulit, normal < 3 detik
d.
Area edema dipalpasi untuk menentukan konsistensi, temperatur, bentuk,
mobilisasi.
e.
Palpasi Capillary refill time : warna kembali normal setelah 3 – 5 detik.
7.
SISTEM NEUROLOGI
Inspeksi
a. Kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat kesadaran : dengan melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien terhadap waktu, tempat dan orang.
a. Kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat kesadaran : dengan melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien terhadap waktu, tempat dan orang.
b.
Kaji status mental.
c.
Kaji adanya kejang atau tremor.
Palpasi
a. Kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk lokasi, durasi, tipe dan pengobatannya.
b. Kaji fungsi sensoris dan tentukan apakah normal atau mengalami gangguan. Kaji adanya hilang rasa, rasa terbakar/panas dan baal.
c.
Kaji fungsi motorik seperti : genggaman tangan, kekuatan otot, pergerakan dan
postur.
Perkusi
a. Refleks patela, diketuk pada regio patela (ditengah tengah patela).
b. Refleks achilles, dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
a. Refleks patela, diketuk pada regio patela (ditengah tengah patela).
b. Refleks achilles, dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
8. SISTEM REPRODUKSI
Inspeksi
a. Keadaan umum, pemeriksaan khusus obstetri, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan tambahan.
b. Inspeksi tentang status gizi : anemia, ikterus.
a. Keadaan umum, pemeriksaan khusus obstetri, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan tambahan.
b. Inspeksi tentang status gizi : anemia, ikterus.
c.
Kaji pola pernapasan (sianosis, dispnea).
d.
Apakah terdapat edema, bagaimana bentuk dan tinggi badan, apakah ada perubahan
pigmentasi, kloasma gravidarum, striae alba, striae lividae, striae nigra,
hiperpigmentasi, dan areola mamma.
Palpasi
a. palpasi menurut Leopold I-IV
b.
Serviks, yaitu untuk mengetahui pelunakan serviks dan pembukaan serviks.
c. Ketuban, yaitu untuk mengetahui apakah sudah pecah atau belum dan apakah ada ketegangan ketuban.
c. Ketuban, yaitu untuk mengetahui apakah sudah pecah atau belum dan apakah ada ketegangan ketuban.
d.
Bagian terendah janin, yaitu untuk mengetahui bagian apakah yang terendah dari
janin, penurunan bagian terendah, apakah ada kedudukan rangkap, apakah ada
penghalang di bagian bawah yang dapat mengganggu jalannya persalinan.
e.
Perabaan forniks, yaitu untuk mengetahui apakah ada bantalan forniks dan apakah
bagian janin masih dapat didorong ke atas.
Auskultasi
Auskultasi untuk mengetahui bising usus, gerak janin dalam rahim, denyut jantung janin, aliran tali pusat, aorta abdominalis, dan perdarahan retroplasenter.
Auskultasi untuk mengetahui bising usus, gerak janin dalam rahim, denyut jantung janin, aliran tali pusat, aorta abdominalis, dan perdarahan retroplasenter.
9. SISTEM PERKEMIHAN
Inspeksi
1) Kaji kebiasaan pola BAK, output/jumlah urine 24 jam, warna, kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen.
2) Kaji keluhan gangguan frekuensi BAK, adanya dysuria dan hematuria, serta riwayat infeksi saluran kemih.
1) Kaji kebiasaan pola BAK, output/jumlah urine 24 jam, warna, kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen.
2) Kaji keluhan gangguan frekuensi BAK, adanya dysuria dan hematuria, serta riwayat infeksi saluran kemih.
3)
Inspeksi penggunaan condom catheter, folleys catheter, silikon kateter atau urostomy
atau supra pubik kateter.
4)
Kaji kembali riwayat pengobatan dan pengkajian diagnostik yang terkait dengan
sistem perkemihan.
Palpasi
1. Palpasi adanya distesi bladder (kandung kemih)
2.
Untuk melakukan palpasi Ginjal Kanan: Posisi di sebelah kanan pasien. Tangan
kiri diletakkan di belakang penderita, paralel pada costa ke-12, ujung cari
menyentuh sudut costovertebral (angkat untuk mendorong ginjal ke depan). Tangan
kanan diletakkan dengan lembut pada kuadran kanan atas di lateral otot rectus,
minta pasien menarik nafas dalam, pada puncak inspirasi tekan tangan kanan
dalam-dalam di bawah arcus aorta untuk menangkap ginjal di antar kedua tangan
(tentukan ukuran, nyeri tekan ga). Pasien diminta membuang nafas dan berhenti
napas, lepaskan tangan kanan, dan rasakan bagaimana ginjal kembali waktu
ekspirasi.
3.
Dilanjutkan dengan palpasi Ginjal Kiri : Pindah di sebelah kiri penderita,
Tangan kanan untuk menyangga dan mengangkat dari belakan. Tangan kiri
diletakkan dengan lembut pada kuadran kiri atas di lateral otot rectus, minta
pasien menarik nafas dalam, pada puncak inspirasi tekan tangan kiri dalam-dalam
di bawah arcus aorta untuk menangkap ginjal di antar kedua tangan (normalnya
jarang teraba).
Perkusi
Untuk pemeriksaan ketok ginjal prosedur tambahannya dengan mempersilahkan penderita untuk duduk menghadap ke salah satu sisi, dan pemeriksa berdiri di belakang penderita. Satu tangan diletakkan pada sudut kostovertebra kanan setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1 dan memukul dengan sisi ulnar dengan kepalan tangan (ginjal kanan). Satu tangan diletakkan pada sudut kostovertebra kanan setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1 dan memukul dengan sisi ulnar dengan kepalan tangan (ginjal kiri). Penderita diminta untuk memberiksan respons terhadap pemeriksaan bila ada rasa sakit.
2.7 Proses keperawatan : tahapan dalam proses keperawatan
(pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, tujuan keperawatan, rencana
keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan).
Proses
keperawatan merupakan kerangka berpikir dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien, keluarga, dan komunitas.
1. Bersifat teratur dan sistematis.
2. Bersifat saling bergantung satu dengan yang lain
3. Memberikan asuhan keperawatan secara individual
4. Klien menjadi pusat dan menghargai kekuatan klien
5. Dapat digunakan dalam keadaan apapun
1. Bersifat teratur dan sistematis.
2. Bersifat saling bergantung satu dengan yang lain
3. Memberikan asuhan keperawatan secara individual
4. Klien menjadi pusat dan menghargai kekuatan klien
5. Dapat digunakan dalam keadaan apapun
Tahapan dalam Proses Keperawatan
Menurut beberapa ahli tentang proses keperawatan, tahapan proses keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pengkajian
2. Tahap Diagnosis keperawatan
3. Tahap Perencanaan
4. Tahap pelaksanaan
5. Tahap evaluasi
Menurut beberapa ahli tentang proses keperawatan, tahapan proses keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pengkajian
2. Tahap Diagnosis keperawatan
3. Tahap Perencanaan
4. Tahap pelaksanaan
5. Tahap evaluasi
1.
Tahap Pengkajian
Pengkajian
merupakan langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan pengumpulan
data atau perolehan data yang akurat dari pasien guna mengetahui berbagai
permasalahan yang ada. Perawat juga harus memiliki berbagai pengetahuan,
diantaranya pengetahuan tentang kebutuhan biopsikososial dan spiritual bagi
manusia, pengetahuan tentang kebutuhan perkembangan manusia (tumbuh kembang),
pengetahuan tentang konsep sehat dan sakit, pengetahuan tentang patofisiologi
tentang penyakit yang dialami, pengetahuan tentang sistem keluarga, budaya,
nilai-nilai keyakinan yang dimiliki pasien dan sebagainya.Perawat juga harus memiliki
kemampuan melakukan observasi secara sistematis kepada pasien, kemampuan
berkomunikasi secara verbal atau nonverbal, kemampuan menjadi pendengar yang
baik, menciptakan hubungan saling membantu, membangun kepercayaan, mengadakan
wawancara, kemampuan dalam melakukan pengkajian atau pemeriksaan fisik
keperawatan.
Tahap
pengkajian dilakukan dengan tahapan berikut :
a.
Pengumpulan data; merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi
tentang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data tentang
biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan dengan masalah pasien
serta data tentang faktor-faktor yang yang memengaruhi masalah pasien. Dalam
pengumpulan data, perangkat, atau format yang dimilki dapat disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
Pengumpulan
data dilakukan dengan cara :
1.
Wawancara, yaitu melalui komunikasi untuk mendapatkan respons dari pasien
dengan tatap muka
2.
Observasi, dengan mengadakan pengamatan secara visual atau secara langsung
kepada pasien
3.
Konsultasi, dengan melakukan konsultasi kepada ahli atau spesial bagian
4.
Pemeriksaan, yaitu peneriksaan fisik dengan metode inspeksi melalui pengamatan
secara
langsung
pada organ yang diperiksa; palpasi dengan cara meraba organ yang diperiksa;
perkusi dengan melakukan pengetukan menggunakan jari telunjuk atau palu
(hammer) pada pemeriksaan neurologis; dan auskultasi dengan mendengarkan bunyi
bagian organ yang diperiksa, pemeriksaan laboratorium.
b.
Validasi Data ; merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data yang
telah dikumpulkan dengan melakukan perbandingan data subjektif dan objektif
yang dikumpulkan dari berbagai sumberberdasarkan standar nilai normal, untuk
menemukan kemungkinan pengkajian ulang atau pengkajian tambahan tentang data
yang ada.
c.
Identifikasi Pola/Masalah ; merupakan kegiatan terakhir dari tahap pengkajian
setelah dilakukan validasi data. Melalui identifikasi pola atau masalah dapat
diketahui gangguan/masalah keperawatan yang terdapat pada fungsi kesehatan,
seperti pada persepsi tata laksana kesehatan, pola aktivitas latihan, pola
nutrisi metabolisme dll.
2. Tahap Diagnosis Keperawatan
Merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial (Carpenito, 1995).
Merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial (Carpenito, 1995).
3.
Tahap Perencanaan
Tahap
ini merupakan proses penyusunan berbagagai intervensi keperawatan yang
dibutuhkan untuk mencegah, menghilangkan atau mengurangi masalah-masalah
pasien. Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan yang
mmebutuhkan berbagai pengetahuan dan keterampilan diantaranya pengetahuan
tentang kekuatan dan kelemahan dari pasien, nilai dan kepercayaan pasien,
batasan praktik keperawatan, peran dari tenaga kesehatan lainnya, kemampuan
dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, menulis tujuan, serta memilih
dan membuat strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan.
4.
Tahap Pelaksanaan
Merupakan
tahap keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakanberbagai strategi
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan. Dalam tahap ini
perawat harus mampu mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan
perlindungan kepada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien tingkat perkembangan pasien. Dalam
tahap pelaksanaan, terdapat dua tindakan yaitu tindakan mandiri dan tindakan
kolaborasi.
Berikut
adalah contoh tindakan keperawatan mandiri (tindakan independen) dan kolaborasi
(interdependen) :
1.Tindakan
Mandiri : Mengajarkan pasien menggunakan walker, mengkaji ROM ekstremitas atas
pasien dll
2.Tindakan
Kolaborasi : Berkonsultasi dengan ahli terapi fisik mengenai kemajuan pasien
menggunakan walker.
5.
Tahap Evalusi
Evaluasi
merupakan tahapan terakhir proses keperawatan dengan cara menilai sejauh mana
tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam mengevaluasi perawat
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memahami respons terhadap
intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai, serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria
hasil.
Tahap evaluasi ini terdiri atas dua kegiatan, yaitu evaluasi hasil dan evaluasi proses. Evaluasi proses dilakukan selama proses perawatan berlangsung atau menilai respons pasien, sedangkan evaluasi target tujuan yang dihasilkan.
Tahap evaluasi ini terdiri atas dua kegiatan, yaitu evaluasi hasil dan evaluasi proses. Evaluasi proses dilakukan selama proses perawatan berlangsung atau menilai respons pasien, sedangkan evaluasi target tujuan yang dihasilkan.
Dokumentasi
Perawat
dapat memilih untuk mencatat hasil dari pengkajian fisik pada pemeriksaan atau
pada akhir pemeriksaan. Sebagian besar institusi memiliki format khusus yang
mempermudah pencatatan data pemeriksaan. Perawat meninjau semua hasil sebelum
membantu klien berpakaian, untuk berjaga-jaga seandainya perlu memeriksa
kembali informasi atau mendapatkan data tambahan. Temuan dari pengkajian fisik
dimasukkan ke dalam rencana asuhan. Data di dokumentasikan berdasarkan format
SOAPIE, yang hamper sama dengan langkah-langkah proses keperawatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Pemeriksaan fisik berasal dari kata “Physical Examination” yang artinya
memeriksa tubuh. Jadi pemeriksaan fisik adalah memeriksa tubuh dengan atau
tanpa alat untuk tujuan mendapatkan informasi atau data yang menggambarkan
kondisi klien yang sesungguhnya.
Tujuan dari pemeriksaan fisik yaitu :
- Mengkaji secara umum dari status umum keadaan klien.
- Mengkaji fungsi fisiologi dan patologis atau gangguan.
- Mengenal secara dini adanya masalah keperawatan klien baik aktual
maupun resiko.
- Merencanakan cara mengatasi permasalahan yang ada,serta menghindari
masalah yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik mutlak dilakukan pada setiap klien,
tertama pada klien yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di
rawat, secara rutin pada klien yang sedang di rawat, sewaktu-waktu sesuai
kebutuhan klien. Jadi pemeriksaan fisik ini sangat penting dan harus di lakukan
pada kondisi tersebut, baik klien dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.
Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting karena sangat bermanfaat, baik untuk untuk menegakkan diagnosa keperawatan, memilih intervensi yang tepat untuk proses keperawatan, maupun untuk mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan.
Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting karena sangat bermanfaat, baik untuk untuk menegakkan diagnosa keperawatan, memilih intervensi yang tepat untuk proses keperawatan, maupun untuk mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan.
3.2 Saran.
Dari pemaparan diatas,
kami memberikan saran dalam ilmu kesehatan khususnya ilmu keperawatan penting
sekali memahami dan mahir melakukan pemeriksaan
fisik dalam asuhan keperawatan
secara tepat agar terhindar dari kesalahan dalam tindakan baik itu dirumah
sakit maupun di masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,
A.Aziz Alimul, 2006, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika
Joyce, K
& Everlyn, R.H. (1996). Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta
: EGC
Mubarak,Iqbal wahit,2008,Buku Ajar Kebutuhan Dasar
Manusia Teori dan Aplikasi Dalam Praktik,Jakarta : EGC
Suryadi hikmat,2012,Buku Saku Pemeriksaan Fisik Head
to Toe.Sukabumi : LCN Press Entrepreneur
(Di akses pada tanggal 18 September 2014
Pukul 14.15 WIB).
0 komentar:
Posting Komentar