PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penting sekali bagi seorang perawat
memahami perbedaan antara budaya, spiritual, keyakinan dan agama guna
menghindarkan salah pengertian yang akan mempengaruhi pendekatan perawat dengan
pasien. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. Spiritualitas merupakan suatu konsep yang unik pada masing-masing
individu.Manusia adalah makhluk yang mempunyai aspek spiritual yang akhir-akhir
ini banyak perhatian dari masyarakat yang disebut kecerdasan spiritual yang
sangat menentukan kehagiaan hidup seseorang. Perawat memahami bahwa aspek
ini adalah bagian dari pelayanan yang komprehensif. Karena selama dalam
perawatan, respon spiritual kemungkian akan muncul pada pasien.
Pasien yang sedang dirawat dirumah
sakit membutuhkan asuhan keperawatan yang holistik dimana perawat dituntut
untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif bukan hanya pada
masalah secara fisik namun juga spiritualnya. Untuk itulah materi spiritual
diberikan kepada calon perawat guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan kebutuhan
spiritual.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana
keanekaragaman budaya dan aspek spiritual dalam proses keperawatan itu?
1.3
Tujuan
Makalah
ini di buat dengan tujuan agar
mahasiswa, tenaga kesehatan atau tenaga medis dapat memahami keanekaragaman
budaya dan aspek spiritual dalam proses keperawatan.
1.4
Manfaat
Makalah
ini di buat oleh kami agar kami memahami dan mengaplikasikan langsung dalam
proses keperawatan hususnya tentang keanekaragaman budaya dan aspek spiritual
dalam proses keperawatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Heritage consistency.
Penting bagi
perawat untuk memahami bahwa klien mempunyai wawasan pandangan dan
interprestasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda, berdasarkan
keyakinan sosial-budaya dan agama klien sehingga terjalin hubungan baik.
Hubungan ini akan meningkatkan pemberian asuhan keperawatan yang aman dan
efektif secara budaya.
Karena terdapat
rentang yang luas tentang keyakinan dan praktik kesehatan yang berlatar
belakang etnik, budaya, sosial dan agama dari individu, keluarga atau
komunitas. Klien dapat mengantisipasi saat mengalami suatu penyakit dengan
pendekatan modern ataupun pendekatan tradisional, dapat juga menggunakan kedua
pendekatan tersebut.
Hubungan dan
komunikasi transkultular terjadi ketika setiap individu berusaha untuk memahami
sudut pandang orang lain melalui budayanya. Setelah mencapai kultular, perawat
harus mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien sepanjang proses keperawatan.
Heritage Consistency adalah melihat akulturasi
sebagai suatu kontinum. Dengan
menggunakan teori ini, dikaji tingkat diamana masyarakat menjadi bagian dari
kultur dominan dan tradisional.
-
Budaya,
menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai, keyakinan, sikap atau adat
istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
-
Etnisitas,
rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok sosial dan warisan budaya.
-
Religi,
keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau diluar kekuatan manusia
yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta
(Abramsom, 1980).
2.2
Fenomena budaya.
Teori Assessment
Model dari Giger dan Davidhizar ini mendiskripsikan enam
fenomena budaya yang harus diperhatikan dan dijadikan sebagai alat untuk
melakukan pengkajian tentang nilai budaya yang dianut klien
yaitu aspek komunikasi, ruang, variasi biologi, pengendalian lingkungan,
waktu dan organisasi sosial.
1. Komunikasi
(Bahasa
yang digunakan, kualitas suara, pengucapan, bahasa diam/isyarat, dan komunikasi
non verbal)
Analisa:
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku,
baik secara lisan atau langsung ataupun tidak langsung atau melalui media
(Effendy, 1960). Jadi jika hal ini tidak berjalan semestinya biasanya akan
terjadi miskomunikasi, hal ini yang sering menjadi masalah dipelayanan
kesehatan terutama di rumah sakit karena klien tidak berasal dari budaya yang
sama dengan petugas kesehatanan atau perawat sehingga perselisihan dapat timbul
dari berbagai situasi.
Contoh ketika pasien dan perawat tidak berbicara dengan
bahasa yang sama atau tidak saling mengenal bahasa yang digunakan. Apa yang
harus kita lakukan?.
Komunikasi yang jelas dan efektif merupakan aspek penting
ketika berhubungan dengan pasien, terutama jika perbedaan bahasa menciptakan
rintangan budaya antara perawat dengan pasien. Ketidakberhasilan untuk
berkomunikasi secara efektif dengan pasien akan menyebabkan penundaan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosis dan
tindakan keperawatan. Perbedaan bahasa ini dapat diatasi dengan cara perawat
meminta anggota keluarga menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan atau juga
bisa meminta teman atau orang memahami bahasa yang digunakan pasein,
halini sesuai dengan definisi yang dikemukan oleh Effendy, 1960
bahwa komunikasi dapat juga disampaikan melalui komunikasi secara tidak
langsung atau menggunakan media.
Keluarga dapat juga memberikan informasi tentang latar
belakang pasien yang sangat bermanfaat dalam perawatan secara holistik. Selain
itu menurut saya hal yang juga penting dalam komuniaksi antara perawat dan
klien adalah kemampuan untuk mendengarkan karena untuk mendapatkan data yang
spesifik pada saat pengkajian selain kita menggali data dengan bertanya kepada
klien kita juga harus mampu mendengarkan apa yang disampikan oleh klien
terutama yang terkait dengan masalah kesehatannya.
Begitu juga dengan bahasa tubuh atau bahasa non verbal hal
ini juga harus dipahami oleh kita sebagai perawat misalnya kita harus
berhadapan, kontak mata atau melakukan sentuhan yang apabilah hal ini kita
lakukan akan berpengaruh terhadap keberhasilan asuhan keperawatan yang kita
berikan. Begitu juga dengan kebiasan komunikasi klien dengan latar belakang
budaya sosialnya seperti kulitas suara dan pengucapan (seperti
orang-orang sumatera intonasi suara lebih keras jika dibandingkan dengan
orang-orang dari pulau jawa) maka disinilah letaknya bahwa perawat sebaiknya
mengetahui norma dan budaya dalam berkominkasi akan memfasilitasi pemahaman dan
mengurangi miskomunikasi antara perawat dan klien.
2. Ruang
(Observasi
derajat kenyamanan, kedekatan dengan orang lain, gerakan tubuh, persepsi
terhadap ruang).
Analisa:
Menurut saya kita selaku perawat memang harus tetap
memberikan space atau ruang khusus kepada klien yang mencakup perilaku individu
dan sikap yang ditunjukan pada ruang di sekitar mereka. Hanya saja akan sedikit
mengalami kendala ketika klien dirawat diruang bangsal dimana dalam satu
ruangan bangsal terdiri dari beberapa pasien dan kelurga yang menadampingi,
dalam kondisi seperti ini kita selaku perawat akan sedikit sulit untuk
memberikan ruang gerak atau space khusus untuk klien dan keluarga atau orang
yang terdekat dengan klien karena kondisi ruangan tempat perawatan. Walaupun
dengan kondisi tersebut space ini tetap menjadi hak bagi pasien, makan kita
tetap memberikan space (teritorial klien) untuk mempertahankan kondisi yang
nyaman bagi klien tetapi harus memperhatikan batasan sesuai dengan ketentuan
atau standart dimana klien dirawat.
Teritorialitas adalah suatu sikap yang ditujukan pada suatu
area seseorang yang diklaim dan dipertahankan atau bereaski secara emosional
ketika orang lain memasuki area tersebut. Perawat harus mencoba untuk
menghargai territorial pasien, terutama ketika melakukan tindakan keperawatan.
Perawat juga harus menyambut anggota keluarga pasien yang mengunjungi pasien.
Hal ini akan tetap mengingatkan pasien seperti di rumahnya sendiri, menurunkan
efek isolasi dan syok akibat pelayanan atau tindakan keperawatan di rumah
sakit.
3. Variasi
biologi
(Struktur
tubuh yang terkait adalah warna kulit, tekstur rambut, dan karakteristik fisik
lainnya, variasi enzimatik dan genetik, pola elektrokardiografi, kerentanan
terhadap penyakit; preferensi gizi dan kekurangan, dan karakteristik
psikologis, mekanisme koping dan dukungan sosial)
Analisa:
Melakukan penilaian fisik seperti struktur dan bentuk tubuh,
warna kulit, perubahan warna kulit yang tidak biasa, warna dan distribusi
rambut, berat badan, tinggi badan, variasi enzimatik dan genetik. Hal ini akan
membantu kita mengidentifikasi beberapa ciri dimana seseorang dari satu
kelompok budaya berbeda secara biologis.
Selama ini ditempat pelayanan kita baik dirumah sakit atau
pelayanan lainya variasi biologi yang disebutkan diatas semuanya sudah
dilakukan pengkajian kepada klien, hanya saja belum dikaitkan secara mendalam
dengan latar belakang budaya yang klien miliki. Jadi menurut saya kedepannya
kita memang harus mengkaji lebih dalam bahwa tampilan fisik atau variasi
biologi klien baik dalam kondisi sehat dan terutama pada kondisi yang kurang
sehat ada kaitanya dengan pola kebiasaan, nilai dan kebudayaan mereka.
Contoh Salah satu kebudyaan masyarakat yang lebih menyukai
makanan yang tidak dimasak terlebih dahulu untuk dikonsumsi, maka menurut saya
hal ini akan membeikan tampilan fisik atau masalah kesehatan yang khusus
terkait dengan fisiknya karena pengaruh dari kebiasaan atau budaya
masyarakatnaya tersebut. Begitu juga apakah ada perbedaan enzimatik atau hasil
pemeriksaan EKG antara orang kulit hitam dengan orang yang berkulit putih dan
variasi biologi yang lainnya dapat kita kaji dengan kaiatannya atau pengaruhnya
terhadap kesehatan seseorang.
4. Pengendalian
lingkungan
(Praktek
budaya kesehatan, definisi kesehatan dan penyakit, Orientasi nilai; percaya
pada sihir, doa untuk perubahan kesehatan)
Analisa:
Kontrol lingkungan (environmental control), mengacu
pada kemampuan anggota kelompok budaya tertentu untuk merencanakan aktivitas
yang mengontrol sifat dan faktor lingkungan langsung. Termasuk di dalamnya
adalah sistem keyakinan tradisional tentang kesehatan dan penyakit, praktek
pengobatan tradisional, dan penggunaan penyembuhan tradisional.
Dalam hal control lingkungan ini di Indonesia dengan latar
belakang budaya masyarakat yang beraneka ragam masih banyak sekali masayarakat
dengan keyakinan budayanya untuk mengatasi masalah kesehatannya. Selaku perawat
kita juga harus memahami apakah keyakinan yang dianut klien untuk mengatasi
masalah kesehatan sesuai untuk mendukung proses penyembuhan atau mengarah
kepada peningkatan kondisi kesehatan yang lebih baik atau tidak. Selagi hal
tersebut sejalan dengan tujuan kesembuhan atau perawatan pasien dan
dapat diterima oleh logika kesehatan menurut saya kontrol lingkungan seperti
itu tetap dapat dijalankan. Kecuali jika bertentangan dengan upaya kesembuhan
dan peningkatan kondisi kesehatan klien.
Hal ini seseuai dengan teori of culture care yang
dikemukan oleh Madeleine Leininger bahwa budaya yang dibawa klien atau
pasien tersebut harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan ataupun tindakan
keperawatan sehingga dapat mengkategorikan pada 3 hal pokok ini apakah budaya
tersebut seseuai, bertentangan atau ada yang berpengaruh secara positif ada
juga hal yang negatifnya. Berikut 3 hal pokok tersebut :
- Culture
care preservation and/or maintenance
- Culture
care accommodation and/or Negotiation
- Culture
care restructuring and/or repatterning
5. Waktu
(Penggunaan
waktu, durasi waktu, mendefinisikan waktu, waktu bersosial, orientasi watu
kedepan, saat ini atau masa lalu)
Analisa:
Konsep berlalunya waktu, durasi waktu, dan definisi dalam
waktu. Negara-negara seperti Inggris dan Cina tampaknya berorintasi masa lalu.
Mereka menghargai tradisi, melakukan hal-hal yang selalu dilakukan. Individu
dari negara-negara ini mungkin enggan untuk mencoba prosedur baru begitu juga
dengan upaya untuk kesehatan.
Orang-orang dari budaya yang berorientasi saat ini, cendrung
berfokus pada disini dan sekarang. Mereka mungkin relatif tidak peduli dengan
masa depan, mereka akan menghadapinya ketika masa itu datang. Amerika latin,
penduduk asli Amerika, dan Timur Tengah yang berorientasi budaya masa depan dan
dapat mengabaikan langkah-langkah preventif perawatan kesehatan.
Waktu atau orientasi waktu beragam di antara kelompok budaya
yang berbeda, dan perawat mempunyai satu sikap yang ditujukan saat menemukan
kesulitan untuk memahami dan merencanakan asuhan pada pasien dengan orientasi
waktu yang berbeda. Misalnya perawat harus memperhatikan jam berapa klien
seharusnya sholat sesuai dengan budaya atau keyakinan agamanya, jam berapa
klien harus makan? ini juga harus diperhatikan jika saja dengan budayanya klien
harus makan pagi jam 7, siang jam 12 dan malam jam 20 sementara dilapangan
jadwal makan diatur pada waktu yang sama, padahal belum tentu jam makan klien
dengan budaya dan asal berbeda sesuai dengan yang dijadwalkan tersebut. Maka
inilah letaknya praktik keperawatan peka budaya hal-hal yang seperti ini harus
diperhatikan sehingga pelayanan yang kita berikan didukung juga oleh kebiasaan
atau culture klien.
6. Organisasi
sosial
(Budaya,
ras, etnik, peran dan fungsi keluarga, pekerjaan, waktu luang, teman dan
penggunaan tempat ibadah seperti masjid, gereja dll)
Analisa:
Pola prilaku budaya belajar melalui enkulturasi, proses
sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang berpikir, punya kemampuan
refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir,
pengetahuan dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Mengakui dan menerima bahwa
individu-individu dari latar belakang budaya yang berbeda-beda mungkin
menginginkan berbagai tingkat akulturasi ke dalam budaya yang dominan.
Faktor-faktor siklus harus diperhatikan dalam interaksi dengan individu dan
keluarga (misalnya nilai tinggi ditempatkan pada keputusan orang tertua, peran
orang tua – ayah atau ibu dalam keluarga).
Budaya tidak hanya ditentukan oleh etnistitas tetapi oleh
faktor seperti geografi, usia, agama, jenis kelamin, orientasi, seksual dan
status ekonomi. Memahami faktor usia dan siklus hidup harus diperhatikan dalam
interaksi dengan semua individu dan keluarga.
Organisasi sosial atau social organizations,
lingkungan sosial di mana seseorang dibesarkan dan bertempat tinggal merupakan
peran penting dalam perkembangan dan identitas budaya mereka. Sebagai contoh
ketika klien berada dipelayanan kesehatan seperti dirumah sakit mereka masih
tetap perlu berkaitan dengan sosial organization misalnya tetap ingin
menjalankan ibadah sholat secara berjamaah baik dengan keluarga atau dengan
orang lain. Maka dalam hal ini rumah sakit yang jika memang peka terhadap
budaya klien harus memfasilitasi. Begitu juga dengan budaya dari agama yang
lainnya atau kegitan organisasi sosial lainnya.
2.3
Keyakinan tradisional tentang kesehatan dan penyakit.
Ketika
keyakinan dan praktik kesehatan dibicarakan karena hal ini berkaitan dengan
klutur, etnisitas, dan agama, maka kata dapat harus digunakan untuk mencegah
stereotip. Rentang definisi sehat dan sakit, keyakinan, dan prakiknya adalah
infinitive, dan terdapat perbedaan didalam dan diantara kelompok. Namun
demikian, terdapat perbedaan umum yang jelas. Perawat harus mengingat bahwa
penting halnya untuk selalu secara konstan mengkaji dan berkomunikasi dengan
klien untuk mengklarifikasi keyakinan mereka tentang kesehatan dan penyakit.
A. Keyakinan Tradisional
Keyakinan
rakyat yang didasari oleh kultur sering menentukan definisi tentang kesehatan
dan penyakit bagi orang yang mempunyai system keyakinan tradisional.Pencegahan
dan pengobatan suatu penyakit tergantung pada pemahaman tentang penyebabnya.
Keyhakinan kesehatan tradisional tentang penyebab dari suatu penyakit dapat
sangat berbeda dengan model epidemiologi orang barat. Itulah sebabya, penting
artinya untuk memahami epidemiologi tradisioanal, atau penyebab penyakit didalam
system keyakinan.
B. Praktik Tradisional
Banyak
praktik tradisional digunakan untuk mencegah dan mengatasi penyakit; praktik
ini termasuk penggunaan benda, bahan, dan praktik keagamaan, yang juga dikenal
sebagai folk-medicine(pengobatan rakyat). Tepatnya, pengobatan rakyat yang
berhubungan dengan tipe praktik pengobatan lain dimasyarakat. Salah satu contoh
dari hal ini adalah adanya popularitas tentang pengobatan alternative dan
penggunaan ramuan homeopatik. Pengobatan rakyat terus ada, sejalan dengan
tekanan yang terus meningkat dari pengobatan modern dan yang telah diturunkan
dari sekolah kedokteran dari generasi sebelumnya. Praktik rakyat pada masa lalu
hanya memilki bagian yang telah diabaikan oleh sistem keyakianan perawatan
kesehatan modern. Berikut ini adalah keragaman dari pengobatan rakyat
tradisional (Yoder, 199972).
1. Pengobatan
rakyat alamiah adalah salah satu dari masyarakat yang pertama menggunakan
lingkungan alamiah dan menggunakan herbal, dan subtansi hewan untuk mencegah
dan mengatai penyakit.
2. Pengobatan
rakyat magisoreligius menggunakan kata-kata yang ramah, suci, dan tindakan
suci untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit.
C. Pengobatan Rakyat Alamiah
Pengobatan
rakyat alamiah banyak dilakukan di Amerika Serikat dan di Negara lain. Umumnya,
bentuk pencegahan dan pengobatan ini ditemukan pada ramuan tradisional dan
obat-obat rumah tangga. Ramuan ini telah diwariskan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya, dan banyak hingga sekarang masih digunakan. Banyak dari
ramuan ini adalah herbal, dan adat serta ritual yang berkaitan dengan
penggunaan herbal ini beragam di antara kelompok etnik. Aspek umum dari
penggunaan herbal adalah pengetahuan bahwa segala yang terdapat di alam dapat
di gunakan sebagai sumber terapi. Cara dimana obat-obatan ini dikumpulkan dan
penggunaan spesifik dapat beragam sesuai dengan kelompok dan agama. Secara
umum, trdadisi pengobatan rakyat menggambarkan tahun dimana herbal tersebut
dipetik; cara herbal tersebut dikeringkan disiapkan; dan metoda, jumlah, dan
frekuensi penggunaan.
Berikut ini adalah beberapa contoh
dari pengobatan rakyat tradisional:
Seorang
yang asal budayanya dari Jamaika mungkin menggunakan tehcerasee untuk
menjaga “sistem” tetap bersih.
Seseorang
yang asal budayanya dari Italia mungkin menggunakan bawang putih untuk mencegah
mata setan.
Seseorang
yang asal budayanya dari Jerman mungkin menggunakan kentang untuk mengatasi
kutil.
Seseorang
yang asal budayanya dari Yunani mungkin menggunakan thechamomileuntuk engatasi
gangguan lambung.
Seseorang
yang asal budayanya dari Cina mungkin menggunakan teh dari beras yang dibakar
untuk mengatasi diare.
D. Pengobatan Rakyat
Magisoreligius
Pengobatan
rakyat magireligius, juga, telah ada sejak manusia mencari penyembuhan dari
penyakit mereka. Tipe pengobatan ini sekarang disebut oleh sebagian orang
sebagai”superstition”, namun bagi penganutnya, jenis pengobatan ini merupakan
praktik keagamaan yang berkaitan dengan penyembuhan. Salah satu contoh dari
pengobatan ini adalah bentuk penyembuhan keagamaan tidak resmi yang dikenal
sebagai powwowing, charming, atau conjuring. Dalam praktik ini,
lues jimat, air suci, seperti air dari Lourdes, manipulasi fisik digunakan
dalam upaya menyembuhkan penyakit.
E. Penggunaan Makanan
Makanan
dicerna dalam cara atau jumlah tertentu. Praktik ini menggunakan diet dan
terdiri atas banyak ibadat yang berbeda. Banyak orang percaya bahwa sistem
tubuh terjaga keseimbangan atau dalam harmoni dengan memakan dengan tipe
makanan tertentu, sehingga terdapat banyak makanan dan kombinasi makanananggap
tabu. Sebagai contoh, dipercaya bahwa beberapa bahan makanan dapat dimakan
untuk mencegah penyakit. Orang dari banyak latar belakang etnik memakan bawang
putih atau bawang mentah, memakannya ditubuh mereka, atau mengantungnya dirumah
untuk tujuan ini. Peran halal yang dipraktikan diantara oaring Yahudi melarang
daging babi dan kerang untuk dimakan. Mereka memperbolehkan makan ikan yang
bertulang dan bersirip dan hanya potongan tertentu daging dari hewan dengan
jari berlebah yang memamah biak(lembu dan domba). Orang Yahudi juga
percaya susu dan daging tidak boleh diletakkan pada tempat yang sama atau
dimakan pada makan. Muslim juga mematuhi banyak praktik diet, seperti diet
halal. Misalnya, muslim tidak makan daging babi. Penyuluhan keagamaan dapat
menyebabkan klien tidak menerima produk perawatan kesehatan, seperti insulin
yang dibuat dari penkreasbabi untuk mengobati diabetes.
F. Ramuan Tradisional
Penggunaan
obat-obat tradisional atau obat rakyat sekarang ini terus menigkat, dan
praktiknya tampak diantaraorang-orang dari semua latar belakang etnik dan
kultur. Ketika seseorang menggunakan obat-obatanyang berasal dari warisan
budaya etnokultural mereka., maka penggunaan obat-obatan ini disebut sebagai “
perawatan kesehatan tradisional”. Ketika sesorang menggunakan obat-obatan bukan
dari tradisi etnokultural mereka, maka penggunaan obat ini disebut sebagai
“pengobatan alternative”. Penggunaan obat-obatan rakyat bukan praktik baru
diantara masyarakatheritage consisten, sudah banyak digunakan dan
diturunkan dari satu generasi ke generasi berkutnya. Sifat famasitisdari
vegetasi-tumbuhan, akar-akaran, batang, bunga, biji,dan herbal-telah banyak
diteliti, dicoba, dibuat catalog, dan digunakan untuk banyak Negara. Banyak
dari tumbuhan ini digunakan oleh komunitas tertentu. Tumbuhan yang lain
menembus garis etnik dan komunitas dan digunakan pada area geografis tertentu.
Ramuan ini dibeli ditoko khusus atau dipasar tertentu yang ada dikomunitas
etnokultural di Amerika Serikat dan mungkin juga dijual dinegara asalnya.
Perawat harus menentukan apakah
klien menggunakan ramuan tradisional atau alternative. Hal ini penting jika
klien tidak meminum obat-obatan yang diresepkan. Sering kali, kandungan aktif
dari ramuan tradisional tidak diketahui. Jika klien menggunakannya, perawat
harus mengetahui ramuan tersebut dan kandungan aktifnya. Seringkali kandungan
ini menjadi antagonis atau sinergik dengan obat-obatan yang diresepkan dokter.
Jika demikian keadaannya, maka obat-obatan yang diresepkan dokter tidak
mempunyai efek, atau dapat terjadi takar lajak yang berat. Pembahasan tentang
farmakopoeia ini tidak dibahas luas dalam bab ini; sehingga hanya sampel ramuan
tertentu dari setiap populasi yang akan dibahas lebih jauh.
G. Penyembuh (Dukun)
Dalam
konteks tradisional, penyembuhan adalah pemulihan seseorang ke dalam keadaan
harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa, atau pemulihan kesehatan
holistic.Dalam komunitas tertentu, orang tertentu dikenal mempunyai kekuatan
untuk menyembuhkan. Dukun dianggap mendapat anugerah penyembuhan dari tuhan.
Pada
banyak contoh seseorang dengan warisan budaya konsisten dapat berkonsultasi
terlebih dahulu dengan seorang dukun sebelum ia berhubungan dengan pemberi
kesehatan modern. Terdapat banyak perbedaan antara dokter barat dengan dukun
tradisional(Kaptchuk & Croucher, 1987) (Tabel 21-3). Hubungan seseorang
dengan dukun, misalnya, sering lebih dekat dibanding hubungan antara orang
tersebut dengan tenaga kesehatan perawatan professional. Orang menganggap dukun
sebagai seorang yang memahami masalah dalam konteks cultural, berbicara dengan
bahasa yang sama, dan mempunyai pandangan yang sama tentang dunia.
Contoh dari dukun tradisional
adalah sebagai berikut:
1. Medicine
man: dukun tradisional dari suku Indian Amerika.
2. Senora: wanita
asal Puerto Rico yang memp[unyai pengetahuan dalam mengobati penyakit.
3. Espiritista:
seseorang yang memiliki keterampilan yang lebih canggih
dibandingkan senora.
4. Curandero: seseorang
yang mempunyai warisan budaya Meksiko dengan kemampuan yang dianugerahkan oleh
tuhan untuk menyembuhkan dengan menggunakan pendekatan religious-psikiatrik.
5. Partera:
dukun beranak berkebangsaan Meksiko-Amerka.
6. Root-worker:
orang kulit hitam yang berasal dari Afrika yang mampu menentukan penyebab dan
pengobatannya.
7. Dokter
Cina: dokter yang sering dididik baik dalam lingkungan kedokteran herbal
Cina trdadisional maupun kedokteran modern.
Dukun
tradisional telah selalu menjadi bagian dari kultur. Metoda yang digunakan oleh
dukun-dukun ini telah dikembangkan sepanjang generasi dengan coba-salah(terial
and error) dan sering didasarkan pada keyakinan keagamaan dan situasi sosial.
Metoda yang aktif telah dilestarikan dan diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan
saat ini. Dukun tradisional menyadari tentang cultural dan kebutuhan
pribadi klien dan mampu memahami masalah masa kini.
2.4
Aspek budaya tentang kesehatan dan penyakit.
A. Budaya
Budaya
menggambarkan sifat non-fisik,seperti nilai, keyakinan, sikap, atau
adat-istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan di wariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Kultur adalah juga merupakan kumpulan
dari keyakinan, praktik, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, normal,
adat-istiadat, ritual yang dipelajari dari keluarga selama sosialisasi
bertahun-tahun. Banyak keyakinan, pikiran, dan tindakan masyarakat, baik yang
disadari maupun yang tidak disadari, ditentukan oleh latar belakang
budaya(Spector,1991). Akhirnya, kultur adalah “system metakomunikasi” yang
di dalam nya tidak hanya bahasa lisan mempunyai makna, tetapi juga segala
sesuatu yang lain (matsubmoto,1988)
B. Etnisitas
Etnisitas adalah rasa identitas
diri yang berkaitan dengan kelompok kultur social umum
dan warisan budaya. Etnisitas adalah kompleks, sukar dipahami, dan tidak selalu
di definisikan dengan jelas.
C. Religi
Religi
adalah keyakinan dalam sesuatu kekuatan sifat ketuhanan atau di luar kekuatan
manusia yang harus di patuhi yang di ibadatkan sebagai pencipta dan pengatur
alam semesta(Abramson,1980). Nilai etika dan keyakinan serta praktik keagamaan
berfungsi untuk lebih jauh mengklarifikasi etnisitas
D. Kontrol lingkungan
Kontrol
lingkungan mengacu pada kemampuan dari anggota kelompok kultural tertentu untuk
merencanakan aktivitas yang mengontrol sifat dan factor lingkungan
langsung(Giger&Davidhijar,1995). Termasuk di dalam nya adalah system
keyakinan tradisional tentang kesehatan dan penyakit, praktik pengobatan
tradisional, dan penggunaan penyembuh tradisional fenomena kultural tertentu
ini memainkan peran yang sangat penting dalam cara klien berespons terhadap
pengalaman yang berkaitan dengan kesehatan, termaksuk cara di mana mereka
mendefinisikan kesehatan dan penyakit dan mencari serta menggunakan sumber
kesehatan dan asuhan keperawatan serta dukungan social.
E. Oganisasi sosial
Lingkungan
social dimana seseorang dibesarkan dan bertempat tinggal memainkan peran
penting dalam perkembangan dan identitas cultural mereka. Anak-anak belajar
tentang respon terhadap peristiwa kehidupan dari keluarga mereka dan dari
kelompok etnoreligi. Proses sosialisasi ini adalah suatu bagian warisan yang
diturunkan cultural, agama, dan latar belakang etnik. Organisasi social mengacu
pada unit keluarga(keluarga kecil, orang tua tuggal, atau keluarga besar) dan
organisasi kelompok social (keagamaan atau etnik)yang dapat diidentifikasi oleh
klien atau keluarga.
F. Hambatan social pada
perawatan kesehatan
Beberapa
rintangan social, seperti pengangguran, kekurangan pekerjaan, tunawisma, tidak
memuiliki asuransi kesehatan, dan kemiskinan menghambat sesorang untuk
memasuki system perawatan kesehatan. Kemiskinan sejauh ini
merupakan factor yang paling kritis. Kemiskinan adalah istilah relatif dan
selalu berubah sesuai waktu dan tempat. Kesehatan yang buruk,
penyakit yang melumpuhkan kehidupan, penyalahgunaan obat dan alcohol, dan
tingkat pendidikan yang minim adalah penyebab social yang menyebabkan
kemiskinan. Sudah banyak yang dipelajari tentang melawan kemiskinan sejak tahun
1964, tetapi sekarang timbul semboyan baru”perang melawan kemiskinan” dimana
orang miskin dilihat sebagai penyebab kemiskinan dan sebagai korban kemiskinan(
shoor, 1995).
G. Komunikasi
Perbedaan
komunikasi di bedakan dalam berbagi cara, termasuk perbedaan bahasa, perilaku
verbal dan non verbal, dan diam. Perbedaan bahasa kemungkinan merupakan factor
terpenting dalam memberikan asuhan keperawatan tranfultural karena perbadaan
ini memberi dampak pada semua tahap proses keperawatan. Komunikasi
yang jelas dan efektif adalah aspek penting ketika berhubungan dengan klien
terutama jika perbedaan bahasa menciptakan rintangan cultural antara perawat
dan klien. Jika klien tidak berbicara dengan bahasa
perawat, maka diperlukan pengalih bahasa. Namun demikian sering terjadi dimana
klien dapat berbicara dengan bahasa perawat dengan kemampuan berbatas atau
mengunakan bahasa dengan normal denotative atau konotatif yang
berbeda dengan makna yang dimilki dengan perawat.
Beberapa
perawat cenderung untuk menghindari klien dengan siapa mereka tidak
dapat berkomunikasi. Hal ini menciptakan lingkaran erat
kesalahpahaman cultural. Menurut Muecke (1970), perawat dapat berperilaku
terhadap klien dengan cara berikut yang dapat disalahgunakan:
1. Perawat meneriakkan
kata-kata yang sama lebih keras. Dengan mengeraskan suara, tidak akan membuat
kata-kata tersebut dapat dipahami, dan tindakan seperti ini dapat juga
menunjukkan permusuhan dengan klien.
2. Perawat berfokus pada tugas
ketimbang pada klien. Hal ini menunjukkan bahwa perawat lebih tertarik
pada tugasnya ketimbang pada klien,
3. Perawat berhenti berbicara
dengan klien dan mulai melakukan sesuatu bagi klien ketimbang bersama klien,
sikap ini menyikapkan secara tidak langsung tentang inverioritas klien.
2.5
Faktor kultural dan proses keperawatan.
Model konseptual yang dikembangkan oleh
Leininger dalam menjelaskanasuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan
dalam bentuk matahariterbit (Sunrise Model) seperti yang terdapat pada gambar
1. Geisser (1991)menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat
sebagailandasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew
andBoyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahappengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian.
Pengkajian adalah proses mengumpulkan
data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7
komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors).
Teknologi kesehatan memungkinkan
individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam
pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat
atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan
klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors).
Agama adalah suatu simbol yang
mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama
memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas
segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji
oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif
terhadap kesehatan.
c.
Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors).
Perawat pada tahap ini harus
mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal
lahir, jenis kelamin,status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways).
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu
yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau
buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah
: posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors).
Kebijakan dan peraturan rumah sakit
yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam
asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada
tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk
klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors).
Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar
segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya :
pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau
patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors).
Latar belakang pendidikan klien
adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat
ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung
oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya
sehingga tidak terulang kembali.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon
klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi
melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga
diagnosakeperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transcultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan
kultur,gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural danketidakpatuhan
dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan dan Pelaksanaan.
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan
trnaskultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan
adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien
(Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya
yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan,
mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan
merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan
kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance.
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural
careaccomodation/negotiation.
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction.
1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan
Perawat dan klien harus mencoba
untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya
budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul
rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien
akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan
hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan denganbudaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
2.6
Spiritualitas dan religi.
Spiritualitas
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan kekuatan
hidup nonmateri atau kekuatan yang lebih tinggi.
2
model hubungan fisik-psikologi-sosial-spiritual :
1.spiritual
bagian dari tubuh manusia.
2.spiritual
melingkupi semuanya.
kebutuhan
spiritual :
1.
Kebutuhan untuk makna dan tujuan.
2.
Kebutuhan untuk kasih sayang dan keterhubungan.
3.
Kebutuhan untuk pengampunaan.
Perawat
dapat membantu pasien untuk menemukan kebutuhan spiritual dengan cara :
a.
Memberi Perhatian .
b.
Membantu Pasien di dalam perjuangannya dalam menghadapi sakit dan
kematian.
c.
Memupuk hubungan dengan jiwa.
d.
Memfasilitasi ekspresi pasien terkait dengan agama / spiritual.
Konsep
konsep yang terkait dengan Spiritulitas :
1.
Spiritualitas
2.
Faith (Iman)
3.
Religion (Agama)
Hope
(Harapan) : sebuah isi dari kehidupan yang bertanggung jawab atas pandangan
positif pada saat-saat paling suram bahkan kehidupan.
Love
: untuk mencintai orang lain adalah wajah Allah.
Spiritual
Contentment adalah Kebahagiaan Spiritual.
Spiritual,
Kesehatan dan Penyakit :
1.
Petunjuk Kehidupan harian kita
2.
Sumber dari Dukungan.
3.
Sumber dari kekuatan dan penyembuhan.
4.
Sumber dari konflik.
Faktor
yang mempengaruhi Spiritualitas :
1.
Pertimbangan perkembangan
2.
Keluarga
3.
Latar Belakang Etnis
4.
Formal Agama
5.
Peristiwa Kehidupan
2.7 Proses keperawatan
dan spiritualitas.
Proses keperawatan dan
spiritualitas meliputi :
1. PENGKAJIAN
Pengkajian dapat menunjukan
kesempatan yang dimiliki perawat dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas
klien. Pengkajian tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian
menunjukkan tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang
memahami pendekatan konseptual menyeluruh tentang pengkajian spiritual akan
menjadi yang paling berhasil (Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan
hal penting yaitu dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien.
Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan
pasien. Oleh karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat
membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat pasien,
atau perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya.
Craven
dan Hirnle (1996), Blais dan Wilkinson (1995) serta Tayler, Lillis dan Le Mane
(1997), pada dasarnya informasi awal yang perlu digali secara umum adalah :
a. Afiliasi
agama
1) Partisipasi
agama klien dalam kegiatan keagamaan
2) Jenis
partisipasi dalam kegiatan keagamaan
b. Keyakinan
/ spiritual agama
1) Praktik
kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi / upacara keagamaan
2) Persepsi
penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3) Strategi
koping
Pengkajian
data subyektif meliputi :
a. Konsep
tentang Tuhan atau ketuhanan
b. Sumber
harapan dan kekuatan
c. Praktik
agama dan ritual
d. Hubungan
antara keyakinan dan kondisi kesehatan.
Sedangkan pengkajian
data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi :
a. Pengkajian
afek dan sikap (Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
apatis atau preokupasi)
b. Perilaku
(Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau buku
keagamaan, dan apakah pasien seringkali mengaluh, tidak dapat tidur, bermimpi
buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak
sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama)
c.Verbalisasi
(Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topik keagamaan lainnya,
apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama, dan apakah pasien
mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian)
d. Hubungan
interpersonal (Siapa pengunjung pasien, bagaimana pasien berespon terhadap
pengunjung, apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien, dan bagaimana pasien
berhubungan dengan pasien yang lain dan juga dengan perawat)
e.
Lingkungan (Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah lainnya,
apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan dan apakah
pasien memakai tanda keagamaan misalnya jilbab). Terutama dilakukan melalui
observasi. (Hamid, 2000).
2. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketika meninjau pengkajian spiritual
dan mengintegrasikan informasi kedalam diagnosa keperawatan yang sesuai,
perawat harus mempertimbangkan status kesehatan klien terakhir dari perspektif
holistik, dengan spiritualitas sebagai prinsip kesatuan (Farran,
1989). Setiap diagnosa harus mempunyai faktor yang berhubungan dengan
akurat sehingga intervensi yang dihasilkan dapat bermakna dan berlangsung (Potter
and Perry, 1997).
Diagnosa keperawatan yang berkaitan
dengan masalah spiritual menurut North American Nursing Diagnosis Association
(2006) adalah distres spiritual. Pengertian dari distres spiritual adalah
kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dihubungkan dengan agama, orang lain, dan dirinya.
Menurut North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA, 2006) batasan diagnosa keperawatan distres
spiritual adalah :
a. Berhubungan
dengan diri, meliputi mengekspresikan kurang dalam harapan, arti, tujuan hidup,
kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan diri, keberanian, marah, rasa bersalah,
koping yang buruk.
b. Berhubungan
dengan orang lain, meliputi menolak berinteraksi dengan teman, keluarga, dan
pemimpin agama, mengungkapkan terpisah dari sistem dukungan, mengekspresikan
keterasingan.
c. Berhubungan
dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi tidak mampu mengekspresikan
kondisi kreatif (bernyanyi), tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada
ketertarikan kepada bacaan agama
d. Berhubungan
dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi tidak mampu ibadah, tidak mampu
berpartisipasi dalam aktifitas agama, mengekspresikan marah kepada Tuhan, dan
mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing
Diagnosis Association (2006) faktor yang berhubungan dari diagnosa keperawatan
distres spiritual adalah mengasingkan diri, kesendirian, atau pengasingan
sosial, cemas, kurang sosiokultural/ deprivasi, kematian dan sekarat diri atau
orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.
a. Bagaimana
penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan
merekonsilasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
b. Koping
individu tidak efektif berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan
utama
c. Takut
yang berhubungan dengan belum siap untuk menghadapai kematian dan pengalaman
kehidupan setelah kematian.
d. Berduka
yang disfungsional : keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa agama
tidak mempunyai arti.
e. Keputusasaan
berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk tuhan
f. Ketidakberdayaan
berhubungan dengan perasaan menjadi korban
g. Disfungsi
seksual berhubungan dengan konflik nilai
h.
Pola tidur berhubungan dengan distress spiritual
i. Resiko
tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubunga ndengan perasaan bahwa hidup
tidak berarti
3. PERENCANAAN
Dengan menetapkan rencana perawatan,
tujuan ditetapkan secara individual, dengan mempertimbangkan riwayat klien,
area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data obyektif yang relevan
(Hamid, 2000).
Menurut (Munley, 1983 cit Potter and
Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian perawatan spiritual yaitu
klien merasakan perasaan percaya pada pemberi perawatan, klien mampu terkait
dengan anggota sistem pendukung, pencarian pribadi klien tentang makna hidup
meningkat. Tujuan askep klien distress spiritual berfokus pada menciptakan
lingkungan yang mendukung praktik keagamaan dan keyakinan yang biasa
dilakukannya.
Klien
dengan distress spiritual akan :
a. Mengidentifikasi
keyakinan spiritual yang memenuuhi kebutuhan
b. Menggunakan
kekuatan keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi penyakit.
c. Mengembangkan
praktik spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, Tuhan dan dunia
luar
d. Mengekspresikan
kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan
sehari-hari.
Kriteria
hasil yang diharapkan klien akan :
a. Menggali
akar keyakinan dan praktik spiritual
b. Mengidentifikasi
factor dala mkehiduapn yang menantang keyakinan spiritual
c. Menggali
alternative : menguatkan keyakinan
d. Mengidentifikasi
dukungan spiritual
e. Melaburkan
/ mendemonstrasikan berkurangnya distress spiritual setelah keberhasilan
intervensi.
Pada dasarnya perencanaan pada klien
distress spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan klien dengan membantu
klien memnuhi kewajiban agamanya dan menggunakan sumber dari dalam dirinya.
4. IMPLEMENTASI
Pada tahap implementasi, perawat
menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip - prinsip kegiatan
asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid, 2000) :
a. Periksa
keyakinan spiritual ibadah
b. Fokuskan
perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spritualnya.
c.
Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual
d. Mengetahui
pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien
e. Berespon
secara singkat, spesifik dan factual
f. Mendengarkan
secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien
g. Menerapkan
tehnik komunikasi terapeutik dengan tehnik mendukung menerima, bertanya,
memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien
h. Meningkatkan
kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal kien
i. Memahami
masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti menyetujui klien
j. Menentukan
arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap penyakit. Apakah
klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan atau
anugrah dari Tuhan ?
k. Membantu
memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agamanya
l. Memberitahu
pelayanan spiritual yang tersedia di Rumah Sakit.
Menurut Amenta dan Bohnet (1986) cit
Govier (2000) ada empat alat / cara untuk membantu perawat dalam menerapkan
perawatan spiritual yaitu :
a. Menyimak
dengan perilaku wajar.
b. Selalu
ada.
c. Menyetujui
apa yang dikatakan klien.
d. Menggunakan
pembukaan diri.
Perawat berperan sebagai komunikator
bila pasien menginginkan untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila
menurut perawat memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah
spiritualnya.
Menurut McCloskey dan Bulechek
(2006) dalam Nursing Interventions Classification (NIC), intervensi dan
diagnosa distres spiritual salah satunya adalah support spiritual. Definisi
support spiritual adalah membantu pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan
dengan kekuatan Maha Besar. Adapun aktivitasnya meliputi :
a. Buka
ekspresi pasien terhadap kesendirian dan ketidakberdayaan.
b. Beri
semangat untuk menggunakan sumber – sumber spiritual.
c. Siapkan
artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien.
d. Tunjuk
penasihat spiritual pilihan pasien.
e. Gunakan
teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan
nilai, jika diperlukan.
f. Mampu
untuk mendengar perasaan pasien.
g. Fasilitasi
pasien dalam meditasi, berdoa atau ritual keagamaan.
h. Dengarkan
dengan baik komunikasi pasien dan kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk
berdoa atau ritual keagamaan.
i. Yakinkan
kepada pasien bahwa perawat dapat mensupport pasien ketika sedang menderita.
j. Buka
perasaan pasien terhadap rasa sakit dan kematian.
k.
Bantu pasien untuk berekpresi yang sesuai dan bantu mengungkapkan rasa marah
dengan cara yang baik.
5. EVALUASI
Perawat mengevaluasi apakah
intervensi keperawatan membantu menguatkan spiritualitas klien. Perawat
membandingkan tingkat spiritualitas klien dengan perilaku dan kebutuhan yang
tercatat dalam pengkajian keperawatan. Klien harus mengalami emosi sesuai
dengan situasi, mengembangkan citra diri yang kuat dan realistis, dan mengalami
hubungan interpersonal yang terbuka dan hangat. Keluarga dan teman, dengan
siapa klien telah membentuk persahabatan dapat dijadikan sumber informasi
evaluatif. Klien harus juga mempertahankan misi dalam hidup dan sebagian
individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau Maha Tinggi. Bagi
klien dengan penyakit terminal serius, evaluasi difokuskan pada keberhasilan
membantu klien meraih kembali harapan hidup (Potter anfd Perry, 1997).
Untuk mengatahui apakah pasien telah
mencapai kriteria hasil yang ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu
mengumpulkan data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan.
Tujuan
asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien mampu :
a. Mampu
beristirahat dengan tenang.
b. Menyatakan
penerimaan keputusan moral / etika.
c. Mengekspresikan
rasa damai berhubungan dengan Tuhan.
d. Menunjukkan
hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama.
e. Mengekspresikan
arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.
f. Menunjukkan
afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas.
g. Menunjukkan
perilaku lebih positif.
h. Mengekspresikan
arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Bahwasannya dalam keanekaragaman
budaya dan aspek spiritualitas dalam keperawatan harus ada proses timbal balik
dalam asuhan keperawatan antara perawat dan klien agar proses asuhan
keperawatan dalam aspek keanekaragaman budaya dan aspek spiritual berjalan
dengan baik.
3.2 Saran.
Bagi
mahasiswa keperawatan dan umumnya bagi ahli medis diharapakan mampu memahami
dan menerapkan aspek keanekaragaman budaya dan aspek spiritualitas dalam asuhan
keperawatan kepada klien.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamid, A, Y., 1999, Buku ajar Aspek
Spiritual dalam Keperawatan, Widya medika: Jakarta
Potter & ferry.2005,fundamental
keperawatanI.jakarta:penerbit buku kedokteran EGC
Doenges, M. E., Moorhouse. M. F.,
Geisler. A. C., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC:Jakarta
http://ayubth.blogspot.com/2008/11/teori-transcultural-nursing-dalam.html
(Diakses pada tanggal 9 April 2014).